Senin, 27 Oktober 2014

Lu’lu’ul Walidain


    
           (Mutiara orang tua)

Hujan semalam begitu memberi berkah bagi banyak orang. Pasalnya sudah sekitar 3bulan  ini hujan tidak kembali turun. Pagi itu udara berhembus sangat segar. Memberi hidup bagi tanaman-tanaman yang layu. Di sebuah rumah sederhana yang bercat putih dan cream dengan sebuah taman yang indah di depan rumahnya. Di seklilingnya tampak beberapa tanaman yang rindang menghiasi. Di bawah pohon itu tergeletak sebuah motor tua yang tampaknya sedikit usang.
“Umi, mana sepatu Zia? Sudah siang Umi..” teriak seorang gadis yang usianya sekitar 9 tahun.
“Ini sayang, maaf Umi masih menyiapkan sarapanmu di dapur. Ayo sekarang lekas sarapan nanti biar abi yang mengantarkanmu ke sekolah.” Jawabnya dengan lembut di balas dengan sang anak yang bergegas menuju dapur, di sana seorang pria yang tak lain ayahnya sudah menunggu di meja makan.
“Berdo’a dulu sayang, biar makanmu barokah.” Kata sang abi dengan lembut.
“Iya abi.”
Selang beberapa menit setelah mereka selesai sarapan, sang abi segera berlalu dan memanaskan motor tua yang sedari tadi sudah terparkir di bawah pohon akasia.
“Umi, Zia berangkat sekolah dulu ya. Assalamualaikum”  Kata Zia sambil menjabat dan mencium tangan sang Umi.
“Iya, hati-hati nak. Wassalamualaikum.” Jawabnya.
Di sepanjang perjalanan, udara memberi kesan yang berbeda pada hari itu. suasana terasa hening. Tak ada yang di ucapkan di keduanya. Mungkin keduanya tengah menikmati terpaan angin pagi yang memberi salam kepadanya. Hingga pada akhirnya keluarlah ucapan dari sang abi.
“Hari ini, kamu terakhir masuk di sekolah ini ya Nak. Mulai minggu depan kamu sudah pindah di Pondok Darussalam Surakarta.” Kata sang abi.
“Iya Abi, nggak papa. Aku menikmatinya kok.” Jawab Zia dengan senang hati.
Tak beberapa lama keduanya sampai di sebuah Sekolah Dasar. Keduanya di sambut oleh guru yang biasa mengajar Zia.
“Ayo Zia segera masuk, teman-teman yang lain sudah masuk.” Kata Bu Ratna.
“Iya Bu, sebentar.” Jawab Zia, kemudian berjalan ke arah abinya dan menjabat tangan beliau.
Hari itu Zia nampak murung. Mungkin karena beban pikirannya yang harus meninggalkan teman-temannya di SD Cempaka 1 ini. Mungkin dia merasakan kehilangan yang teramat dalam ketika harus meninggalkan mereka. Tapi Zia juga tak bisa menceritakan hal ini kepada siapapun. Dia takut membuat kecewa teman-temannya. Mungkin inilah sebuah persahabatan sejati tengah di pertanyakan. Saat istirahat tiba, Zia yang biasanya ceria hanya murung dan menghabiskan istirahatnya di kelas. Biasanya Zia bersama teman-temannya menghabiskan waktu istirahatnya di kantin atau di taman bermain.
“Zia, kamu ndak ke kantin bersama teman-teman?” Kata Inda teman sebangku Zia.
“Tidak In, aku sedang tidak enak badan.” Jawabnya lesu.
“Memang kamu sakit ya?”
“Tidak, hari ini hari terakhir aku sekolah di sini. Mulai minggu depan aku sudah tidak lagi di sini. Sama abi aku di suruh mondok di dekat rumah eyang di Surakarta.”
“Benarkah? Pasti kita akan kehilangan kamu ya.”
“Sudahlah, nggak papa kok.”
Sangat sulit ia lalui masa-masa tersulit dalam hidupnya. Bagaimana mungkin orangtuanya tega melepaskan anak semata wayang mereka untuk pergi jauh demi meneruskan pendidikannya. Mungkin bagi orangtuanya inilah yang terbaik baginya. Dan sebagai seorang anak, Zia harus tetap menurut dengan apapun yang telah di gariskan oleh kedua orangtuanya. Mungkin didikan orang tua sejak kecil membuat Zia mengerti sekali bagaimana caranya berbakti kepada mereka. orang tua mana yang tak bangga dengan titipan Allah seperti Zia. Gadis manis, cantik, sholehah dan cerdas.
Sampainya di rumah seusai sholah dzuhur, umi menemukan Zia tengah duduk di teras depan rumah. Entahlah apa yang sedang di pikirkan oleh bintang kecilnya ini. Mungkin pikiran sang anak tengah kalut karena harus meninggalkan rumah untuk mendapatkan pendidikannya.
“Zia kenapa di sini? Boleh umi menemani?” kata umi lembut.
“Umi, kenapa Zia harus pindah ke pondok? Apa Zia bandel sampai-sampai Zia tidak boleh tinggal sama Umi dan abi.” Kata Zia polos.
“Tidak Nak, jangan punya pikiran seperti itu. Umi melakukan ini karena ini yang terbaik buatmu. Umi dan Abi menyayangimu.” Jawab umi sambil mendekap sang anak di anatar jilbab yang terurai lepas di mahkota indahnya.
Seminggu berlalu, hingga waktunya Zia harus meninggalkan rumah.  Ketika subuh menjelma, umi sudah menyiapkan semua kebutuhan Zia selama di pondok. Mungkin hari itu adalah hari terakhir bagi Zia di rumah. Sang abi sudah memanaskan montor.
“Zia, nanti kita ke stasiun. Jadi sekarang harus siap-siap.” Kata abi
“Baik abi, ini tinggal memakai kerudung saja.” Jawabnya
Hati Zia semakin tak karuan ketika harus meninggalkan rumah. Ada kegetiran dalam jiwanya, rasanya dia masih terlalu dini untuk tinggal di pondok. Masih pagi buta kala itu ketika Zia meninggalkanrumahnya.
“Zia, di sana nurut ya sama pengasuh di sana. Jangan nakal dan bandel. Ini uang 300 ribu untuk satu bulan.  Nanti sebulan sekali umi dan abi akan datang ke sana.”
“Iya umi, Zia ngerti.”
Tak lama kemudiaan mereka sampai di stasiun. Kurang 10 menit lagi kereta akan datang. Tapi hati Zia semakin tak menentu. Dia hanya bisa menahan tangisnya agar sang umi dan abi tidak khawatir kepadanya.
Setelah bunyi bel kereta api dinyalakan semua penumpang berhamburan memasuki gerbong kereta api. Semuanya berjubel dan berdesak-desakan. Begitupun yang terjadi dengan Zia dan Abi. Tak selang berapa lama setelah mereka duduk, tiba-tiba seorang nenek tua mengahampiri mereka dan menengadahkan tangannya. Sontak Zia langsung merogoh uang di sakunya dan memberikan 3 lembar uang seratus ribuan. Sang abi tersontak kaget. Setelah sang nenek itu pergi, sang abi mulai menanyakannya.
“Mengapa Zia kasihkan semuanya? “ kata abi.
“Kalau nenek itu ikhlas menerima yang sedikit, Zia juga ikhlas memberi yang banyak.” Jawabnya polos. Dan jawaban itu membuat abinya semakin tegang.
“Tapi bagaiamana dengan uang jajan kamu di pondok nanti?” kata abi.
“Zia masih punya abi dan umi, sedangkan nenek itu, siapa tahu dia sebatang kara. Jika abi menganggap Zia titipan Allah. Maka abi dan umi tidak akan membiarkan Zia kelaparan kan?” jawabnya dengan nada bercanda namun berwibawa.
Sungguh anugerah yang luar biasa memiliki amanah seperti Zia. Selang 2 jam dari itu, mereka sampai pula di Surakarta dan melanjutkan naik ojek menuju ke pondok Darussalam. Setelah mengurus semua administasi pendaftaran, Zia langsung di perbolehkan masuk ke kelas. Dan abinya menunggu di rumah eyang yang kebetulan tidak jauh dari Pondok.
“Perkenalkan, nama saya Fauzia Nafisa. Bisa di panggil Zia. Senang bertemu dengan teman-teman baru.” Kata Zia saat memperkenalkan diri di hadapan santri-santri itu.
Hari demi hari dijalani Zia dengan ceria dan sepertia biasa tanpa ada beban. Sekali-kali memang ada rasa kerinduan yang mendalam untuk kedua orangtuanya, terlebih ketika mengingat rasa masakan umi yang tiada duanya. Ingin rasanya diantar dan dijemput abi seperti biasa. Namun, mulai saat itu juga dia harus bisa mandiri. Dia ingin menjadi seperti abi yang bisa menghafal Al-Qur’an dan ia ingin seperti umi yang pengetahuan agama Islamnya luas serta memiliki suara emas saat membaca Al-Qur’an. Zia harus bisa menyesuaikan diri di pondok. Tapi tidak sulit, karena Zia sudah terbiasa dengan bangun pagi, banyak kegiatan, banyak tugas yang harus dijalankan.
Kadang jiwanya resah saat harus mengingat teman-temannya di SD Cempaka 1, di saat Zia dan teman-temannya mengukir asa dan cita bersama. Namun Zia cepat menyadari kini asa dan citanya semakin nyata di tempat ini. Di tempat dimana kini Zia sudah bisa tumbuh menjadi bintang kecil yang ceria, mandiri dan sholehah. Persis sama yang di impikan oleh kedua orangtunya.
Setahun di pondok, sudah membuat Zia hafal 5 juzz dalam al-Quran. Sebuah prestasi yang membanggakan. Selain itu, Zia juga sering diminta untuk menjadi Qori’ saat ada acara-acara pondok ataupun saat lomba. Hal itulah yang membuat kedua orangtuanya menjadi bangga kepadanya. Terkadang mutiara tak selamanya bisa di simpan, apalagi jika mutiara itu seorang wanita. Dia akan lebih bersinar dan bercahaya jika hatinya selalu terkait oleh Sang Pencipta-Nya. Begitu juga dengan Zia, kini harapannya menjadi seperti abi dan uminya tinggal segenggaman.
Tahun demi tahun berlalu tanpa terasa, ketika gadis kecil yang dulu selalu bermain di taman tengah pondok kini tinggalah seorang gadis dengan tinggi semapai, dua lesung di pipinya dan sebuah gamis serta jilbab yang terurai lembut menutupi tubuhnya. Dialah Fauzia Nafisa.
Ia kabarkan salam rindunya untuk sang abi dan umi yang mungkin juga merindukannya lewat semilir angin yang setiap hari tanpa henti menemani dan menjadi sahabat abadinya. Seperti saat malam-malam di ujung penantian tanpa kabar hingga pada akhirnya membuat Zia harus bisa berpikir dewasa dan mempercayai semua tentang cinta kedua orangtuanya yang tak pernah ada ujungnya.
*****

2 komentar:

  1. Selamat berkarya, kamu yang lebih dulu menulis :)

    BalasHapus
  2. Kita sama-sama belajar berkarya, semoga apa yang kita pelajari menuai hasil di esok hari. :)

    BalasHapus