Sempat kutuliskan rindu pada lubuk hatiku
Namun awan menghapusnya di langit biru
Pernah kugoreskan kangen diantara senja
Tapi waktu menghapusnya dalam semu
Apa kabar calon imam surgaku?
Hanya lewat semilir angin ku sampaikan
Rinduku yang tak kan berujung....
Di sini, di tanah surga ini
kusandarkan pengharapanku kepada alam yang setia menemani setiap jengkal
langkahku. Kepada ilalang-ilalang yang terhampar luas bak permadani. Kepada
pucuk hijau bumi-Mu Ya Rabb kupasrahkan segalanya tentang cinta. Namaku Arini,
gadis muda penuh pesona. Telah lama kutepis perasaan yang setahun terakhir ini
selalu menghantuiku. Aku merasa ada hal berbeda yang kujalani saat tak bersama
dirinya. Dirinya yang dulu selalu berjalan beriringan denganku kini tengah
menyelesaikan S2 nya di tanah Mesir. Namanya Al Fahmi Zidna, pria yang sudah 4
tahun ini mengisi hari sepiku. Sakit rasanya ketika harus mengantar
kepergiannya, memang tak bisa ku sangkal, ini semua untuk masa depan dan
mimpinya. Aku tetap mendukungnya, meski hatiku sendiri terasa teriris ketika
melihatnya berjalan semakin jauh dariku.
“ Hai
Arini, manisku. Jangan sedih, hanya 4 tahun aku di sana, waktuku masih lebih
banyak untukmu ketika aku kembali. Jaga dirimu baik-baik.” Kata terakhir yang
Fahmi ucapkan saat ku antarkan ke bandara setahun yang lalu. Masih melekat di
ingatanku ketika dia tersenyum manis lalu bergegas menuju pesawat. Aku tak
menyalahkan dia, aku pun tak menyalahkan waktu yang coba merenggut bahagiaku
dan bahagianya. Aku hanya belum bisa menerima keadaan yang memaksaku berjalan
sendiri, terasa berat. Hari ini, Fahmi tepat berulang tahun yang ke 23. Setahun
yang lalu, kita berdiri di hamparan ilalang ini. Menatap langit dan menuliskan
mimpi kita di sana. Tapi, untuk yang pertama kalinya aku harus merelakan
merayakan ulang tahunnya sendiri. Hanya sebuah pesan singkat kukirimkan
kepadanya. Dan dia hanya membalas ala kadarnya. Mungkin aku tengah berada pada
zona ketidak nyamananku, dimana aku memaksa dia untuk hadir di sini, tertawa
bersama, makan bersama dan menikmati musim cinta terindah bersamanya. Sungguh
aku merindukanmu, Fahmi.
Sebuah pandangan penuh haru yang masih saja
menyimpan asa. Rasaku masih tetap sama dan tetap tersisa diantara kita, aku
tetap menunggumu meski kamu tak ada di kenyataanku. Aku hanya bisa terdiam
ketika hanya bisa memelukmu dari jauh, hanya mengenang kebersamaan kita, dan
begitu melambung tinggi asaku ketika kamu janjikan kita kan hadapi segalanya
bersama. Tapi kini jalanmu dan jalanku berbeda. Hanya kelebat bayangmu yang
mengisi setiap sudut ruang hatiku.
“Bukan
hubungan kita yang berubah arah, hanya saja waktu belum mengijinkan kita untuk
bersama dulu. Bersabarlah.” Sebuah pesan singkat yang lagi-lagi kuterima dari
Fahmi. Mungkin hanya pesan-pesan ini pengobat rinduku untuknya tatkala kamu
jauh. Teman-temanku hanya sesekali datang lalu pergi, sepi ketika harus
melakukan segala sesuatu sendiri. Biasanya kamu yang selalu mengingatkanku
untuk tetap kuat menghadpi segala kemungkinan yang akan terjadi, namun semenjak
kepergianmu hanya sebuah pesan singkat sebagai penggantimu. Aku tak bisa
mengingkari hatiku, aku masih mengakui keberadaanmu meski sesekali aku merasa
lelah dan jenuh untuk menunggumu. Tangisku tak lagi berarti, hanya sebuah
simpul senyum kecil yang tersisa.
“Sebuah
kata tak mampu mengungkapkan perasaanku saat ini, hanya saja mereka dapat
mewakilinya. Aku masih di sini sampai kamu kembali.” Setelah ku baca
berulang-ulang pesan yang kutuliskan untuknya, akhirnya aku beranikan untuk
mengirimkan balasan kepadanya. Tapi kenapa hatiku ragu, ataukan disini sebuah
kekuatan cinta tengah dipertanyakan? Ah, segera ku buang perasaan yang tengah
mengusikku. Segera ku bergegas menyusuri tempat yang biasa aku menghabiskan waktuku
bersama Fahmi ketika dia di sini. Aku masih tak percaya ketika dia tak lagi di
sini, aku lebih sering menghabiskan sebagian besar waktuku di tempat ini hanya
untuk sekedar mengenangnya, mengingat tawa lepasnya, dan senyum manisnya. Lagi-lagi
kelebat bayangnya terasa ada di sampingku. Mungkin kerinduanku padanya teramat
besar hingga aku berhalusinasi tentangnya. Waktu mulai berimpit lurus, namun
aku masih tak berutik sedikitpun. Masih ada celah dalam gelap yang tersisa
untuk sekedar melampiaskan kerinduanku kepada Fahmi. Mungkin rasa ini juga yang
kini tengah menggelayut pada diri Fahmi. Aku mengerti waktu tak akan mengulang
hari kemarin, tapi seandainya waktu bisa berputar kembali akan ku minta waktu
dimana aku dan dia saling tertawa bersama, dan inginku lambatkan jalannya waktu
agar aku lebih lama bersamanya. Inilah ketakutanku ketika harus kehilangannya
dan merasa begitu nyaman hanya ketika sebuah namanya terdengar diucapkan. Entah
sebuah kekuatan cinta atau justru cinta yang akan menguatkan kita dan menjaga kita
saat kita berlinang air mata. Mungkin kali ini dia harus bisa menjadi malikat
untuk beberapa saat hanya untuk menghapus lukaku, membuatku kembali seperti
sediakala.
“Mungkin
saat ini ragaku memang tak berada di sampingmu, jiwaku pun tak sepenuhnya ada
untukmu, tapi aku tak pernah henti berdo’a agar seusai pulangku nanti kita bisa
merangkai mimpi kita bersama lagi, seperti dulu. Kita hanya butuh waktu yang
lebih lama dari biasanya, hanya butuh sebuah kesabaran untuk tetap bertahan.
Jangan pernah ragu, aku tak pernah meninggalkanmu Arini.” Kembali sebuah pesan
singkat kuterima dari Fahmi, yang kenyataanya membuat dadaku semakin sesak dan
kembali meneteskan air mata. Aku mencintaimu entah ragamu di sini atau hanya
kelebat bayangmu yang setia menemaniku Fahmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar