Senin, 27 Oktober 2014

Gerimis Hati Arini




Sempat kutuliskan rindu pada lubuk hatiku
Namun awan menghapusnya di langit biru
Pernah kugoreskan kangen diantara senja
Tapi waktu menghapusnya dalam semu
Apa kabar calon imam surgaku?
Hanya lewat semilir angin ku sampaikan
Rinduku yang tak kan berujung....

            Di sini, di tanah surga ini kusandarkan pengharapanku kepada alam yang setia menemani setiap jengkal langkahku. Kepada ilalang-ilalang yang terhampar luas bak permadani. Kepada pucuk hijau bumi-Mu Ya Rabb kupasrahkan segalanya tentang cinta. Namaku Arini, gadis muda penuh pesona. Telah lama kutepis perasaan yang setahun terakhir ini selalu menghantuiku. Aku merasa ada hal berbeda yang kujalani saat tak bersama dirinya. Dirinya yang dulu selalu berjalan beriringan denganku kini tengah menyelesaikan S2 nya di tanah Mesir. Namanya Al Fahmi Zidna, pria yang sudah 4 tahun ini mengisi hari sepiku. Sakit rasanya ketika harus mengantar kepergiannya, memang tak bisa ku sangkal, ini semua untuk masa depan dan mimpinya. Aku tetap mendukungnya, meski hatiku sendiri terasa teriris ketika melihatnya berjalan semakin jauh dariku.
“ Hai Arini, manisku. Jangan sedih, hanya 4 tahun aku di sana, waktuku masih lebih banyak untukmu ketika aku kembali. Jaga dirimu baik-baik.” Kata terakhir yang Fahmi ucapkan saat ku antarkan ke bandara setahun yang lalu. Masih melekat di ingatanku ketika dia tersenyum manis lalu bergegas menuju pesawat. Aku tak menyalahkan dia, aku pun tak menyalahkan waktu yang coba merenggut bahagiaku dan bahagianya. Aku hanya belum bisa menerima keadaan yang memaksaku berjalan sendiri, terasa berat. Hari ini, Fahmi tepat berulang tahun yang ke 23. Setahun yang lalu, kita berdiri di hamparan ilalang ini. Menatap langit dan menuliskan mimpi kita di sana. Tapi, untuk yang pertama kalinya aku harus merelakan merayakan ulang tahunnya sendiri. Hanya sebuah pesan singkat kukirimkan kepadanya. Dan dia hanya membalas ala kadarnya. Mungkin aku tengah berada pada zona ketidak nyamananku, dimana aku memaksa dia untuk hadir di sini, tertawa bersama, makan bersama dan menikmati musim cinta terindah bersamanya. Sungguh aku merindukanmu, Fahmi.
Sebuah pandangan penuh haru yang masih saja menyimpan asa. Rasaku masih tetap sama dan tetap tersisa diantara kita, aku tetap menunggumu meski kamu tak ada di kenyataanku. Aku hanya bisa terdiam ketika hanya bisa memelukmu dari jauh, hanya mengenang kebersamaan kita, dan begitu melambung tinggi asaku ketika kamu janjikan kita kan hadapi segalanya bersama. Tapi kini jalanmu dan jalanku berbeda. Hanya kelebat bayangmu yang mengisi setiap sudut ruang hatiku.
“Bukan hubungan kita yang berubah arah, hanya saja waktu belum mengijinkan kita untuk bersama dulu. Bersabarlah.” Sebuah pesan singkat yang lagi-lagi kuterima dari Fahmi. Mungkin hanya pesan-pesan ini pengobat rinduku untuknya tatkala kamu jauh. Teman-temanku hanya sesekali datang lalu pergi, sepi ketika harus melakukan segala sesuatu sendiri. Biasanya kamu yang selalu mengingatkanku untuk tetap kuat menghadpi segala kemungkinan yang akan terjadi, namun semenjak kepergianmu hanya sebuah pesan singkat sebagai penggantimu. Aku tak bisa mengingkari hatiku, aku masih mengakui keberadaanmu meski sesekali aku merasa lelah dan jenuh untuk menunggumu. Tangisku tak lagi berarti, hanya sebuah simpul senyum kecil yang tersisa.
“Sebuah kata tak mampu mengungkapkan perasaanku saat ini, hanya saja mereka dapat mewakilinya. Aku masih di sini sampai kamu kembali.” Setelah ku baca berulang-ulang pesan yang kutuliskan untuknya, akhirnya aku beranikan untuk mengirimkan balasan kepadanya. Tapi kenapa hatiku ragu, ataukan disini sebuah kekuatan cinta tengah dipertanyakan? Ah, segera ku buang perasaan yang tengah mengusikku. Segera ku bergegas menyusuri tempat yang biasa aku menghabiskan waktuku bersama Fahmi ketika dia di sini. Aku masih tak percaya ketika dia tak lagi di sini, aku lebih sering menghabiskan sebagian besar waktuku di tempat ini hanya untuk sekedar mengenangnya, mengingat tawa lepasnya, dan senyum manisnya. Lagi-lagi kelebat bayangnya terasa ada di sampingku. Mungkin kerinduanku padanya teramat besar hingga aku berhalusinasi tentangnya. Waktu mulai berimpit lurus, namun aku masih tak berutik sedikitpun. Masih ada celah dalam gelap yang tersisa untuk sekedar melampiaskan kerinduanku kepada Fahmi. Mungkin rasa ini juga yang kini tengah menggelayut pada diri Fahmi. Aku mengerti waktu tak akan mengulang hari kemarin, tapi seandainya waktu bisa berputar kembali akan ku minta waktu dimana aku dan dia saling tertawa bersama, dan inginku lambatkan jalannya waktu agar aku lebih lama bersamanya. Inilah ketakutanku ketika harus kehilangannya dan merasa begitu nyaman hanya ketika sebuah namanya terdengar diucapkan. Entah sebuah kekuatan cinta atau justru cinta yang akan menguatkan kita dan menjaga kita saat kita berlinang air mata. Mungkin kali ini dia harus bisa menjadi malikat untuk beberapa saat hanya untuk menghapus lukaku, membuatku kembali seperti sediakala.
“Mungkin saat ini ragaku memang tak berada di sampingmu, jiwaku pun tak sepenuhnya ada untukmu, tapi aku tak pernah henti berdo’a agar seusai pulangku nanti kita bisa merangkai mimpi kita bersama lagi, seperti dulu. Kita hanya butuh waktu yang lebih lama dari biasanya, hanya butuh sebuah kesabaran untuk tetap bertahan. Jangan pernah ragu, aku tak pernah meninggalkanmu Arini.” Kembali sebuah pesan singkat kuterima dari Fahmi, yang kenyataanya membuat dadaku semakin sesak dan kembali meneteskan air mata. Aku mencintaimu entah ragamu di sini atau hanya kelebat bayangmu yang setia menemaniku Fahmi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar