Kuawali pagi
dengan senyum ceria, bersama ramahnya sang mentari di pagi ini. Saat ini aku
masih duduk di kelas 9 di sebuah SMP Negeri di kawasan Jakarta Timur. Bersama
dengan teman-teman ku ayuh sepeda onthel tuaku melewati sawah yang terbentang
luas di kiri kanan jalan yang kulalui menuju sekolahku berada. Sekolahku
berjarak sekitar 3 km dari kediamanku. Saat ini aku sedang menantikan
detik-detik pengumuman kelulusanku.
Tak
terasa aku sudah hampir lulus. Berarti tinggal selangkah lagi aku SMA. Wahh
senangnya bukan main. Aku juga sudah menyiapkan sekolah mana yang ingin aku
tuju. Dan dalam perjalanan berangkat
sekolah di pagi itu senda gurau selalu menghiasi sepanjang perjalanan kami.
“Eh eh kamu jadi sekolah di SMA
Tunas Bangsa ya Din?” kata Amira temanku.
“Iya Mir, aku pengen banget sekolah
di situ. Itukan impianku dari awal. Ya semoga saja nanti nilai danumku
memenuhi.” Jawabku dengan mantab.
Sepanjang perjalanan kulalui dengan hati ceria. Dan
beberapa menit kemudian aku samapai di SMP itu. Teman-teman di sana juga sudah
banyak yang berkumpul di Aula untuk menantikan pengumuman kelulusan itu. Hatiku
semakin tak karuan ketika detik-detik pengumuaman dibacakan. Aku berharap
semoga aku bisa menjadi the best di tahun ini.
Dan sungguh aku benar-benar tak
menyangka bahwa aku bisa mendapat peringkat 1 paralel. Dan mendapat nilai danum
tertinggi. “Ya Allah terimakasih atas anugerah yang telah Engkau berikan
kepadaku.” Kataku dalam hati.
Sesampainya
di rumah aku sampaikan berita ini kepada orangtuaku. Mereka begitu bangga
dengan keberhasilan yang kuraih. Seakan hari itu aku menjadi ratu sehari di
rumah.
“Sekarang kamu sudah lulus, kamu
jadi nerusin SMA kemana?” kata Ibuku.
“Aku ke SMA Tunas Bangsa, Bu.”
Jawabku tegas.
“Gak boleh, kamu harus nerusin ke
MAN. Kamu sudah gladrah di SMP. Kamu harus nurut sama orangtuamu.” Jawab
Ayahku.
“Tapikan Yah, aku ingin menetukan
pilihaku sendiri.”
“Kalau kamu nggak mau nurut sama
Ayah dan Ibu kamu nggak usah sekolah sekalian.” Jawab Ayahku.
Semenjak
saat itu aku mulai bosen dirumah. Yang di bahas cuma itu-itu saja. Apalagi aku
jadi serba salah. Mungkin begini ya nasib seorang perempuan yang ngga bisa
menentukan pilihannya sendiri. Aku pengen menentukan pilihanku sendiri, bukan
di paksa seperti ini. Aku paling nggak suka di paksa seperti ini.
Namun
percuma saja aku ngomong panjang lebar, toh pada akhirnya aku harus menuruti semua permintaan orangtuaku.
Dan pada saat itu aku menemui Ardi sahabatku di SMP. Aku ceritakan semua
maslahku padanya. Ku sandarkan kepalaku pada bahunya. Dia pun memberi solusi
agar aku menuruti keinginan orangtuaku, karena menurutnya itu juga yang terbaik
untukku. Namun aku sempat mengelak, dia tetap memaksa.
“Kamu harus bisa jadi dewasa, kamu
sekarang udah hampir jadi anak SMA, kamu nggak bisa terus-terusan kayak anak
kecil begini. Kamu harus sadar tentang hal itu. Mengertilah aku nggak akan
kemana-kemana. Aku akan selalu ada buat kamu.” Kata Ardi saat itu.
Akupun menatap matanya, “Tapi kamu
tau nggak beban yang kurasa? SMA Tunas Bangsa itu impianku. Sejak dulu aku
pengen sekolah di situ. Dan sekarang orangtuaku ingin mengubur impianku? Dan
aku diam begitu saja?” jawabku penuh sesal.
“Aku ngerti, tapi ngga seharusnya
kamu kayak gitu. Aku percaya sama kamu. Kamu pasti bisa. Yakin Dini pasti
bisa”.
“Ya Ar, makasih ya buat hari ini.”
Aku pun meninggalkan Ardi dengan
tatapan kosong yang tak tentu arahnya kemana.
Sesamapai
di rumah, Ibu menyambutku dan membicarakan tentang sekolaku di MAN. Sepertinya
Ibu dan Ayah begitu mendukung dan berharap aku mau sekolah di MAN. Dengan
langkah gontai aku duduk di ruang tamu
bersama ibu dan ayah.
“Bu, sekarag Dini mau sekolah di
MAN.” Jawabku sambil menunduk.
“Alhamdulillah, besok kamu mulai
berkemas karena kamu akan di kirim di pondok.” Jawab ayah.
“Lhoh, kenapa harus di pondok? Dini
kan bisa tinggal di rumah? Bisa pulang pergi kan yah?” jawabku.
“Nggak, kamu harus di pondok bersama
budhemu. Disana kan ada budhemu, jadi kamu
bisa belajar mandiri juga di sana.”
“Iya yah, Dini mau.”
Beberapa
minggu setelah itu, aku benar-benar menjadi anak pondokan. Sesuatu yang
menurutku begitu asing. Apalagi dengan kegiatan di MAN yang belum pernah aku
rasakan sebelumnya. Disibukkan dengan berbagai tugas dan banyak menyita waktu.
Sekolahku memang salah satu sekolah favorit di sini. Namun hari-hari MOS (Masa
Orientasi Siswa) kulalui dengan perasaan tak menentu. Aku harus meninggalkan
orang-orang yang kusayangi, tanpa teman, saudara bahkan keluarga terdekatku.
Aku benar menjadi mandiri sekarang.
Seminggu
menjalani MOS rasanya sudah seperti bertahun-tahun, waktu begitu lama bergulir.
Hingga akhirnya aku menemukan sosok kakak pembimbing yang begitu anggun dengan
wibawanya. Dia adalah Sukma. Dia begitu manis dengan senyumnya, dan begitu
teduh dengan jilbab yang terurai lembut. Dia selalu memberi dukungan agar aku
tak pernah menyerah.
“Aku dulu juga dari SMP, malah kamu
lebih beruntung dari pada aku. Dulu MOS nya lebih parah dari ini, kamu harus
jadi anak yang kuat. Kamu sekarang kan udah SMA. Udah nggak ada waktu lagi buat
cengeng. Semangat ya dek.” Kata Mbak Sukma suatu hari.
Setelah MOS itu, pelajaran
berlangsung seperti biasa. Terasa berat memang, namun pada akhirnya aku
menemukan teman-teman yang mendukungku. Ternyata bukan hanya aku yang seperti
ini, tapi Rena temanku sekelas juga merasakan hal yang sama. Dia juga ngga
betah dengan kondisi di sini.
Namun,
aku juga tak ingin menyerah. Kasihan juga orangtuaku apabila aku minta pindah.
Hingga suatu saat aku menerima kabar yang tak ingin ku ketahui. Ardi, sosok
pria tinggi berkulit putih itu meninggal dunia. Dan lebih parahnya lagi aku tak
ada di sampingnya di saat hari-hari akhirnya. Karena setelah kelulusan itu aku
langsung pindah di pondok dan putus kontak dari dia.
Belum
ada 2 bulan aku di MAN aku sudah harus kehilangan Ardi, lantas siapa yang akan
memberiku semangat lagi? Dia teman terbaikku. Tapi dia harus meninggalkanku
lebih dulu. Batinku terasa semakin sesak. Entah mengapa ada kegetiran yang tak
bisa ku ungkapkan.
Sore
itu, sekitar jam 4 aku masih di MAN bersama kakak-kakak ekstra. Satu hal yang
ku rasa di sini. Sebuah kedamaian yang ku rasa saat ku di SMP dulu. Mungkin
jiwa SMP ku belum bisa sepenuhnya hilang meski sudah ku coba untuk melupakan
kenangan buruk itu.
“Apa yang kita pilih, harus bisa
kita pertanggung jawabkan.” Kata seorang kakak ektra waktu itu.
Mendung yang sedari tadi menghantui
kian lama kian deras menghujam batinku, “ya Allah ya Rabb, ini pilihanku, namun
mengapa aku tak bisa mempertanggung jawabkannya?” bisikku dalam hati.
Aku mulai
sadar, dengan prestasiku yang semakin menurun ini malah membuat orang tuaku
kecewa. Dan semenjak itu aku bertekad meski tak ada Ardi di sisi ku lagi, aku
harus bisa jadi seperti yang di inginkan Ardi. Aku harus bisa menjadi gadis
yang tangguh dan tak mudah putus asa.
Ya Allah, dalam hari-hari akhirku
ini aku sering melupakan-Mu karena masalah yang sering datang bergilir, kini
aku menyadari rencana-Mu membuatku lebih dewasa dengan segala yang kumiliki
saat ini. Terimakasih ya Allah atas segala lindungan-Mu hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar