Minggu, 09 Februari 2014

Merajut Asa Di Akhir Senja


                    
                                                                                           
Kuawali pagi dengan senyum ceria, bersama ramahnya sang mentari di pagi ini. Saat ini aku masih duduk di kelas 9 di sebuah SMP Negeri di kawasan Jakarta Timur. Bersama dengan teman-teman ku ayuh sepeda onthel tuaku melewati sawah yang terbentang luas di kiri kanan jalan yang kulalui menuju sekolahku berada. Sekolahku berjarak sekitar 3 km dari kediamanku. Saat ini aku sedang menantikan detik-detik pengumuman kelulusanku.
            Tak terasa aku sudah hampir lulus. Berarti tinggal selangkah lagi aku SMA. Wahh senangnya bukan main. Aku juga sudah menyiapkan sekolah mana yang ingin aku tuju. Dan  dalam perjalanan berangkat sekolah di pagi itu senda gurau selalu menghiasi sepanjang perjalanan kami.
“Eh eh kamu jadi sekolah di SMA Tunas Bangsa ya Din?” kata Amira temanku.
“Iya Mir, aku pengen banget sekolah di situ. Itukan impianku dari awal. Ya semoga saja nanti nilai danumku memenuhi.” Jawabku dengan mantab.
Sepanjang  perjalanan kulalui dengan hati ceria. Dan beberapa menit kemudian aku samapai di SMP itu. Teman-teman di sana juga sudah banyak yang berkumpul di Aula untuk menantikan pengumuman kelulusan itu. Hatiku semakin tak karuan ketika detik-detik pengumuaman dibacakan. Aku berharap semoga aku bisa menjadi the best di tahun ini.
Dan sungguh aku benar-benar tak menyangka bahwa aku bisa mendapat peringkat 1 paralel. Dan mendapat nilai danum tertinggi. “Ya Allah terimakasih atas anugerah yang telah Engkau berikan kepadaku.” Kataku dalam hati.
            Sesampainya di rumah aku sampaikan berita ini kepada orangtuaku. Mereka begitu bangga dengan keberhasilan yang kuraih. Seakan hari itu aku menjadi ratu sehari di rumah.
“Sekarang kamu sudah lulus, kamu jadi nerusin SMA kemana?” kata Ibuku.
“Aku ke SMA Tunas Bangsa, Bu.” Jawabku tegas.
“Gak boleh, kamu harus nerusin ke MAN. Kamu sudah gladrah di SMP. Kamu harus nurut sama orangtuamu.” Jawab Ayahku.
“Tapikan Yah, aku ingin menetukan pilihaku sendiri.”
“Kalau kamu nggak mau nurut sama Ayah dan Ibu kamu nggak usah sekolah sekalian.” Jawab Ayahku.
            Semenjak saat itu aku mulai bosen dirumah. Yang di bahas cuma itu-itu saja. Apalagi aku jadi serba salah. Mungkin begini ya nasib seorang perempuan yang ngga bisa menentukan pilihannya sendiri. Aku pengen menentukan pilihanku sendiri, bukan di paksa seperti ini. Aku paling nggak suka di paksa seperti ini.
            Namun percuma saja aku  ngomong  panjang lebar, toh pada akhirnya aku  harus menuruti semua permintaan orangtuaku. Dan pada saat itu aku menemui Ardi sahabatku di SMP. Aku ceritakan semua maslahku padanya. Ku sandarkan kepalaku pada bahunya. Dia pun memberi solusi agar aku menuruti keinginan orangtuaku, karena menurutnya itu juga yang terbaik untukku. Namun aku sempat mengelak, dia tetap memaksa.
“Kamu harus bisa jadi dewasa, kamu sekarang udah hampir jadi anak SMA, kamu nggak bisa terus-terusan kayak anak kecil begini. Kamu harus sadar tentang hal itu. Mengertilah aku nggak akan kemana-kemana. Aku akan selalu ada buat kamu.” Kata Ardi saat itu.
Akupun menatap matanya, “Tapi kamu tau nggak beban yang kurasa? SMA Tunas Bangsa itu impianku. Sejak dulu aku pengen sekolah di situ. Dan sekarang orangtuaku ingin mengubur impianku? Dan aku diam begitu saja?” jawabku penuh sesal.
“Aku ngerti, tapi ngga seharusnya kamu kayak gitu. Aku percaya sama kamu. Kamu pasti bisa. Yakin Dini pasti bisa”.
“Ya Ar, makasih ya buat hari ini.”
Aku pun meninggalkan Ardi dengan tatapan kosong yang tak tentu arahnya kemana.
            Sesamapai di rumah, Ibu menyambutku dan membicarakan tentang sekolaku di MAN. Sepertinya Ibu dan Ayah begitu mendukung dan berharap aku mau sekolah di MAN. Dengan langkah gontai aku duduk di ruang tamu  bersama ibu dan ayah.
“Bu, sekarag Dini mau sekolah di MAN.” Jawabku sambil menunduk.
“Alhamdulillah, besok kamu mulai berkemas karena kamu akan di kirim di pondok.” Jawab ayah.
“Lhoh, kenapa harus di pondok? Dini kan bisa tinggal di rumah? Bisa pulang pergi kan yah?” jawabku.
“Nggak, kamu harus di pondok bersama budhemu. Disana kan ada budhemu, jadi kamu  bisa belajar mandiri juga di sana.”
“Iya yah, Dini mau.”
            Beberapa minggu setelah itu, aku benar-benar menjadi anak pondokan. Sesuatu yang menurutku begitu asing. Apalagi dengan kegiatan di MAN yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Disibukkan dengan berbagai tugas dan banyak menyita waktu. Sekolahku memang salah satu sekolah favorit di sini. Namun hari-hari MOS (Masa Orientasi Siswa) kulalui dengan perasaan tak menentu. Aku harus meninggalkan orang-orang yang kusayangi, tanpa teman, saudara bahkan keluarga terdekatku. Aku benar menjadi mandiri sekarang.
            Seminggu menjalani MOS rasanya sudah seperti bertahun-tahun, waktu begitu lama bergulir. Hingga akhirnya aku menemukan sosok kakak pembimbing yang begitu anggun dengan wibawanya. Dia adalah Sukma. Dia begitu manis dengan senyumnya, dan begitu teduh dengan jilbab yang terurai lembut. Dia selalu memberi dukungan agar aku tak pernah menyerah.
“Aku dulu juga dari SMP, malah kamu lebih beruntung dari pada aku. Dulu MOS nya lebih parah dari ini, kamu harus jadi anak yang kuat. Kamu sekarang kan udah SMA. Udah nggak ada waktu lagi buat cengeng. Semangat ya dek.” Kata Mbak Sukma suatu hari.
Setelah MOS itu, pelajaran berlangsung seperti biasa. Terasa berat memang, namun pada akhirnya aku menemukan teman-teman yang mendukungku. Ternyata bukan hanya aku yang seperti ini, tapi Rena temanku sekelas juga merasakan hal yang sama. Dia juga ngga betah dengan kondisi di sini.
            Namun, aku juga tak ingin menyerah. Kasihan juga orangtuaku apabila aku minta pindah. Hingga suatu saat aku menerima kabar yang tak ingin ku ketahui. Ardi, sosok pria tinggi berkulit putih itu meninggal dunia. Dan lebih parahnya lagi aku tak ada di sampingnya di saat hari-hari akhirnya. Karena setelah kelulusan itu aku langsung pindah di pondok dan putus kontak dari dia.
            Belum ada 2 bulan aku di MAN aku sudah harus kehilangan Ardi, lantas siapa yang akan memberiku semangat lagi? Dia teman terbaikku. Tapi dia harus meninggalkanku lebih dulu. Batinku terasa semakin sesak. Entah mengapa ada kegetiran yang tak bisa ku ungkapkan.
            Sore itu, sekitar jam 4 aku masih di MAN bersama kakak-kakak ekstra. Satu hal yang ku rasa di sini. Sebuah kedamaian yang ku rasa saat ku di SMP dulu. Mungkin jiwa SMP ku belum bisa sepenuhnya hilang meski sudah ku coba untuk melupakan kenangan buruk itu.
“Apa yang kita pilih, harus bisa kita pertanggung jawabkan.” Kata seorang kakak ektra waktu itu.
Mendung yang sedari tadi menghantui kian lama kian deras menghujam batinku, “ya Allah ya Rabb, ini pilihanku, namun mengapa aku tak bisa mempertanggung jawabkannya?” bisikku dalam hati.
Aku mulai sadar, dengan prestasiku yang semakin menurun ini malah membuat orang tuaku kecewa. Dan semenjak itu aku bertekad meski tak ada Ardi di sisi ku lagi, aku harus bisa jadi seperti yang di inginkan Ardi. Aku harus bisa menjadi gadis yang tangguh dan tak mudah putus asa.
Ya Allah, dalam hari-hari akhirku ini aku sering melupakan-Mu karena masalah yang sering datang bergilir, kini aku menyadari rencana-Mu membuatku lebih dewasa dengan segala yang kumiliki saat ini. Terimakasih ya Allah atas segala lindungan-Mu hingga saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar