Minggu, 09 Februari 2014

Key


           
Senja baru saja merayap, menapakkan cahayanya yang angun. Hewan-hewan malam mulai mengepakkan sayapnya untuk mencari sumber kehidupan. Dan kali ini, aku berada di sana, di ruang tamu yang kecil. Di sampingku, seorang gadis usia 13 tahun duduk menemaniku. Dia seorang gadis yang imut, cantik dan menggemaskan. Dia mengenakan gaun berwarna merah maroon. Aku senang menyebutnya Keyla, meski nama sebenarnya Laila.
            Dia gadis yang cerdas. Di antara teman sebayanya, dia yang paling cerdas dan pintar. Dia bak sebuah kunci gerbang istana pengetahuan. Jadi tak salah aku memanggilnya Keyla. Dia kunci bagiku. Kunci kebahagianku. Keyla adalah adik tiriku, meski kami berbeda ibu namun banyak persamaan dalam diri kami.
            Di sudut ruang tamu, ada sebuah piano tua. Memang sudah usang, jarang di sentuh pula. Aku masih ingat ketika ibuku dulu sering sekali memainkan piano itu. Tangannya terasa gatal dan gemas ketika melihat piano klassik yang sudah 10 tahun berada di sudut ruang tamu. Ketika jari-jemari ibuku menyentuh tuts-tuts piano itu, alunan nada sendu terdengar merdu sekali.
            Keyla menatapku lagi. Tatapannya sendu, wajahnya muram dan lemas. Sesekali dia menengok ke arah jam dinding. Dia menampakkan raut wajah yang nampaknya tidak alami. Aku sendiri masih belum mengerti dengan keadaan yang dialaminya sekarang.
“Dorr dorr dorr....,”
Sebuah suara yang keras dan tak asing lagi bagi kami. Suara peluru dan  bom kembali mengisi ruangan ini. Ya ruangan yang tak akan pernah asing lagi dengan suara semacam ini. Pistol dengan merk ternama hingga merk yang tak ada harganya pernah singgah di sini. Segala macam bom yang mematikan atau sekedar membuat bulu kuduk merinding pun pernah diledakkan di sini. Ya, di tempat ini. Di tempat aku sekarang berada.
Dan saat itu kembali lagi, saat pasukan-pasukan tentara dari negara tetangga kembali memberontak di kubu kami. Kami hanyalah masyarakat miskin yang tertindas. Air mata berurai darah sudah biasa di sini. Saat itu, aku masih ingat betul. Hari selasa, ketika pengeboman kembali terjadi. Pesawat hellicopter sudah berada di angkasa, dan rasanya sebentar lagi ajal akan menjemput.
“Tidak...,” jerit Keyla adikku.
“Lihat itu Key, semakin mendekat. Sudah tidak ada waktu lagi,” jawabku sambil terengah-engah.
“Lebih cepat lagi Kak. Kalahkan semuanya,” jawab Keyla dengan kepanikannya.
“Aku tak mau mati konyol di sini, cari tempat persembunyian yang aman,” ajakku pada Keyla.
“Tidak Kak, aku juga tak ingin mati konyol. Tapi lihat, mereka telah mengepung daerah kita. Tak ada jalan lain selain menyerahkan nyawa kita,” jawab Keyla.
“Tidak kah kau ingat saat aku harus kehilangan ibuku? Aku tak ingin itu terjdi padamu,” jawabku penuh sesak.
“Sudah tidak ada waktu lagi Kak. Cepat lari” Keyla menarik tanganku dan kita  berlari menyusuri jalanan yang telah dikepung oleh prajurit dari negara gila itu.
Langkahku semakin gontai, tak ada tempat lagi untuk bersembunyi. “Ayah, di manakah engkau?” jeritku dalam hati. Keyla terus menarik tanganku, aku telah gagal menjadi seorang kakak. Aku tak bisa bertindak tegas dalam menangani situasi seperti ini.
            Semua tempat di sini tela dikepung oleh pasukan tentara. Segala macam senjata tajam dapat dengan mudah menghunus relung hati kami. Langkahku semakin tak pasti, tempat persembunyian macam apa yang harus aku tuju. Jatuh bangun sudah biasa, dan ini bukan hal yang pertama. Aku takut Tuhan. Haruskah di usiaku yang masih 17 tahun ini merasakan kepedihan yang seharusnya belum ku alami.
            Aku ingin segera bebas dari cengkraman orang-orang gila yang haus akan kekuasaan itu. Korban semakin berjatuhan, ku lihat di sana ayahku sedang di kepung oleh tentara-tentara itu.
“Ayaahhhhhhhhh...,” teriakku dengan keras.
“Cepat lari Nak, jangan hiraukan aku,” jawab ayahku.
Genggaman tangan Keyla lepas dari tanganku.
“Key, mengapa kau lepaskan?” tanyaku.
“Aku tak tega melihat ayah, dasar tentara biadab,” jawab Keyla sambil menangis histeris.
Tinggal menunggu detik demi detik untuk menyaksikan kematian ayahku yang begitu mengenaskan. Tapi aku tak ingin ayahku mati senista itu. Keberanian yang bagaimana yang harus aku kumpulkan untuk melindungi ayahku. Dia ayahku, seorang yang telah banyak berjasa buatku.
“Cepat selamatkan ayah, Kak. Tidakkah kau lihat, ayah begitu tersakiti dengan kekangan tentara gila itu,?” sahut Keyla yang sedari tadi berdiri cemas di sampingku. Ya, aku harus berjuang demi Ayah, Keyla dan semuanya. Tidak akan kubirakan peluru-peluru dan bom dari tentara gila itu mengenai keluargaku. Ayah adalah prioritas utamaku setelah Keyla. Aku pun hendak berlari menuju arah ayah. Namun beliau menghentikanku.
“Jangan lari ke sini, cepat selamatkan adik dan ibumu. Cepat lari Keenan. Tunggu apalagi, lari Keenan,” kata-kata ayah barusan menyadarkanku, bahwa aku masih punya ibu meski bukan ibu kandungku. Tapi bagaimana dengan nasib ayah. Maut sudah di depan mata. Tenntara-tentara gila itu menoleh ke arahku, langkahku menjadi getir.
“Lari Keenan, lari,” teriak ayah sekali lagi.
“Tapi Yah, aku harus menyelamatkanmu,” jawabku.
“Tidak, kau harus lari bersama Laila dan selamatkan ibumu!” teriak ayahku.
“Iya Yah, demi engkau akan ku bawa ibu dan Keyla dengan selamat.” Aku bergegas menarik Keyla dan segera mungkin berlari menjauh. Namun, masih dua langkah peluru telah ditembakkan. Dan aku tahu apa yang terjadi, pasti itu ayah yang telah menjadi korban. Aku pun tak berani membalik badan, ku tarik tangan Keyla dan segera menjauh dari tempat setan itu.
            Akhirnya aku menemukan sebuah rumah tua yang ku pikir pasti tentara-tentara gila itu tak menemukan tempat persembunyianku. Aku masuk dengan mengendap-endap sambil masih ku genggam erat tangan Keyla.
“Kita di mana, Kak?” tanya Keyla.
“Entahlah, aku sendiri tak tahu. Yang pasti kita masih selamat. Jangan pernah lepas genggaman ini. Aku tak ingin kau terjadi apa-apa,” jawabku.
Rumah  itu bernuansa klassik, bangunannya masih terbuat dari kayu. Debu tebal menyelimuti perapot rumah tersebut. Sepertinya, gedung ini telah lama ditinggalkan penghuninya. Mungkin saja aku bisa bermalam di sini bersama Keyla. Aku menyusuri rumah tua itu, dan kurasa rumah tersebut aman untuk bermalam sehari saja. Mengingat, di luar dingin sekali.
            Aku menggelar tikar yang ada di sudut bekas dapur itu. Masih terlihat beberapa perabot rumah tangga menggantung di sana. Mungkin bisa jadi ini rumah korban dari tentara-tentara itu. Tapi entah itu rumah siapapun, sekarang aku merasa tenang kembali. Aku pun merebahkan tubuhku di tikar tersebut. Belum berapa lama aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar desiran suara hellicopter.
“Gawat, pasti tentara itu telah mengintai keberadaan kita. Cepat bangun, Key!” kataku tergopoh-gopoh sambil membangunkan Keyla.
“Apa Kak? Kita mau kemana lagi?” tanya Keyla.
“Entahlkah, yang penting sekarang kita harus berlari. Dengar itu, suaranya semakin mendekat,” aku pun menarik tangan Keyla dan menjaknya kembali berlari. Mungkin sudah ada lebih daro 100 kilometer aku berlari seharian. Tapi, tanpa hasil. Aku belum juga menemukan ibuku, “ataukah jangan-jangan ibuku sudah meninggal bersama orang-orang yang di bom tadi?” pikiranku mulai kalut.
            Tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang aku tak tahu itu tempat apa. Aku berteriak mencari ibuku. Keyla tampak begitu kelelahan. Mungkin dia lapar karena sejak tadi belum terisi enegri sama sekali. “Semangat Key, kita harus menemukan ibu,” kataku menyemangati Keyla yang wajahnya dusah pucat pasi.
“Itu ibu,” teriak Keyla.
“Iya benar, itu ibu. Ibu..,” teriakku pada sosok wanita yang bersandar pada dinding bambu itu. Bersama Keyla aku segera berlari menuju ke arah ibu.
“Ibu, apakah Ibu baik-baik saja?” tanyaku memastikan keadaan ibu.
“Ibu tidak apa-apa, hanya kelelahan saja karena lama berlari, dimana ayahmu?” tanya ibuku. Namun, aku dan Keyla tak menjawab. Kami hanya saling pandang dan menitikkan air mata kesedihan.
“Sudah, tak usah usah kau bicara. Aku sudah tahu apa yang sudah menimpa ayahmu. Jangan kau tangisi, ayahmu pergi demi menyelamatkan kita. Menyelamatkan negara kita yang terancam bahaya. Usap air matamu Keen, kau seorang pemuda tak selayaknya kau cengeng. Dan kau, Laila, jangan menangis. Kita masih punya kehidupan panjang,” sahut ibuku sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Baru sebentar saja, peluru kembali ditembakan. Dan kini mengenai ibuku. Batinku terasa amat sesak. Di hari yang sama aku harus kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku.
“Ibu...... bangun Bu, jangan tinggalkan Keen dan Keyla. Bangun Bu,” teriakku memanggil ibu. Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar di ketuk, dan amat keras. Tiba-tiba tiga orang masuk, dan mengguling-nggulingkan tubuhku.
“Keen, bangun Keen. Hey, cepat bangun, dasar anak nakal. Lihat itu sudah jam berapa? Apa kau tak sekolah?” suara ibuku membangunkanku. Ku pandang wajah ketiga orang yang amat kucintai itu, dan aku tertawa geli mengingat mimpi burukku. Aku pun memeluk tubuh ayah dan ibu, mereka pun melihatku dengan tatapan aneh. Ternyata, semua hanya mimpi. !!

2 komentar: