Senja
baru saja merayap, menapakkan cahayanya yang angun. Hewan-hewan malam mulai
mengepakkan sayapnya untuk mencari sumber kehidupan. Dan kali ini, aku berada
di sana, di ruang tamu yang kecil. Di sampingku, seorang gadis usia 13 tahun
duduk menemaniku. Dia seorang gadis yang imut, cantik dan menggemaskan. Dia
mengenakan gaun berwarna merah maroon. Aku senang menyebutnya Keyla, meski nama
sebenarnya Laila.
Dia gadis yang cerdas. Di antara
teman sebayanya, dia yang paling cerdas dan pintar. Dia bak sebuah kunci
gerbang istana pengetahuan. Jadi tak salah aku memanggilnya Keyla. Dia kunci
bagiku. Kunci kebahagianku. Keyla adalah adik tiriku, meski kami berbeda ibu
namun banyak persamaan dalam diri kami.
Di sudut ruang tamu, ada sebuah
piano tua. Memang sudah usang, jarang di sentuh pula. Aku masih ingat ketika
ibuku dulu sering sekali memainkan piano itu. Tangannya terasa gatal dan gemas
ketika melihat piano klassik yang sudah 10 tahun berada di sudut ruang tamu.
Ketika jari-jemari ibuku menyentuh tuts-tuts piano itu, alunan nada sendu
terdengar merdu sekali.
Keyla menatapku lagi. Tatapannya
sendu, wajahnya muram dan lemas. Sesekali dia menengok ke arah jam dinding. Dia
menampakkan raut wajah yang nampaknya tidak alami. Aku sendiri masih belum
mengerti dengan keadaan yang dialaminya sekarang.
“Dorr
dorr dorr....,”
Sebuah suara yang keras dan tak asing lagi bagi kami. Suara peluru
dan bom kembali mengisi ruangan ini. Ya
ruangan yang tak akan pernah asing lagi dengan suara semacam ini. Pistol dengan
merk ternama hingga merk yang tak ada harganya pernah singgah di sini. Segala
macam bom yang mematikan atau sekedar membuat bulu kuduk merinding pun pernah
diledakkan di sini. Ya, di tempat ini. Di tempat aku sekarang berada.
Dan saat itu kembali lagi, saat pasukan-pasukan tentara dari negara
tetangga kembali memberontak di kubu kami. Kami hanyalah masyarakat miskin yang
tertindas. Air mata berurai darah sudah biasa di sini. Saat itu, aku masih ingat
betul. Hari selasa, ketika pengeboman kembali terjadi. Pesawat hellicopter
sudah berada di angkasa, dan rasanya sebentar lagi ajal akan menjemput.
“Tidak...,”
jerit Keyla adikku.
“Lihat
itu Key, semakin mendekat. Sudah tidak ada waktu lagi,” jawabku sambil
terengah-engah.
“Lebih
cepat lagi Kak. Kalahkan semuanya,” jawab Keyla dengan kepanikannya.
“Aku
tak mau mati konyol di sini, cari tempat persembunyian yang aman,” ajakku pada
Keyla.
“Tidak
Kak, aku juga tak ingin mati konyol. Tapi lihat, mereka telah mengepung daerah
kita. Tak ada jalan lain selain menyerahkan nyawa kita,” jawab Keyla.
“Tidak
kah kau ingat saat aku harus kehilangan ibuku? Aku tak ingin itu terjdi
padamu,” jawabku penuh sesak.
“Sudah
tidak ada waktu lagi Kak. Cepat lari” Keyla menarik tanganku dan kita berlari menyusuri jalanan yang telah dikepung
oleh prajurit dari negara gila itu.
Langkahku
semakin gontai, tak ada tempat lagi untuk bersembunyi. “Ayah, di manakah
engkau?” jeritku dalam hati. Keyla terus menarik tanganku, aku telah gagal
menjadi seorang kakak. Aku tak bisa bertindak tegas dalam menangani situasi
seperti ini.
Semua tempat di sini tela dikepung
oleh pasukan tentara. Segala macam senjata tajam dapat dengan mudah menghunus
relung hati kami. Langkahku semakin tak pasti, tempat persembunyian macam apa
yang harus aku tuju. Jatuh bangun sudah biasa, dan ini bukan hal yang pertama.
Aku takut Tuhan. Haruskah di usiaku yang masih 17 tahun ini merasakan kepedihan
yang seharusnya belum ku alami.
Aku ingin segera bebas dari cengkraman
orang-orang gila yang haus akan kekuasaan itu. Korban semakin berjatuhan, ku
lihat di sana ayahku sedang di kepung oleh tentara-tentara itu.
“Ayaahhhhhhhhh...,” teriakku dengan keras.
“Ayaahhhhhhhhh...,” teriakku dengan keras.
“Cepat
lari Nak, jangan hiraukan aku,” jawab ayahku.
Genggaman
tangan Keyla lepas dari tanganku.
“Key,
mengapa kau lepaskan?” tanyaku.
“Aku
tak tega melihat ayah, dasar tentara biadab,” jawab Keyla sambil menangis
histeris.
Tinggal
menunggu detik demi detik untuk menyaksikan kematian ayahku yang begitu
mengenaskan. Tapi aku tak ingin ayahku mati senista itu. Keberanian yang
bagaimana yang harus aku kumpulkan untuk melindungi ayahku. Dia ayahku, seorang
yang telah banyak berjasa buatku.
“Cepat
selamatkan ayah, Kak. Tidakkah kau lihat, ayah begitu tersakiti dengan kekangan
tentara gila itu,?” sahut Keyla yang sedari tadi berdiri cemas di sampingku.
Ya, aku harus berjuang demi Ayah, Keyla dan semuanya. Tidak akan kubirakan peluru-peluru
dan bom dari tentara gila itu mengenai keluargaku. Ayah adalah prioritas
utamaku setelah Keyla. Aku pun hendak berlari menuju arah ayah. Namun beliau
menghentikanku.
“Jangan
lari ke sini, cepat selamatkan adik dan ibumu. Cepat lari Keenan. Tunggu
apalagi, lari Keenan,” kata-kata ayah barusan menyadarkanku, bahwa aku masih
punya ibu meski bukan ibu kandungku. Tapi bagaimana dengan nasib ayah. Maut
sudah di depan mata. Tenntara-tentara gila itu menoleh ke arahku, langkahku
menjadi getir.
“Lari
Keenan, lari,” teriak ayah sekali lagi.
“Tapi
Yah, aku harus menyelamatkanmu,” jawabku.
“Tidak,
kau harus lari bersama Laila dan selamatkan ibumu!” teriak ayahku.
“Iya
Yah, demi engkau akan ku bawa ibu dan Keyla dengan selamat.” Aku bergegas
menarik Keyla dan segera mungkin berlari menjauh. Namun, masih dua langkah
peluru telah ditembakkan. Dan aku tahu apa yang terjadi, pasti itu ayah yang
telah menjadi korban. Aku pun tak berani membalik badan, ku tarik tangan Keyla
dan segera menjauh dari tempat setan itu.
Akhirnya aku menemukan sebuah rumah
tua yang ku pikir pasti tentara-tentara gila itu tak menemukan tempat
persembunyianku. Aku masuk dengan mengendap-endap sambil masih ku genggam erat
tangan Keyla.
“Kita
di mana, Kak?” tanya Keyla.
“Entahlah,
aku sendiri tak tahu. Yang pasti kita masih selamat. Jangan pernah lepas
genggaman ini. Aku tak ingin kau terjadi apa-apa,” jawabku.
Rumah itu bernuansa klassik,
bangunannya masih terbuat dari kayu. Debu tebal menyelimuti perapot rumah
tersebut. Sepertinya, gedung ini telah lama ditinggalkan penghuninya. Mungkin
saja aku bisa bermalam di sini bersama Keyla. Aku menyusuri rumah tua itu, dan
kurasa rumah tersebut aman untuk bermalam sehari saja. Mengingat, di luar
dingin sekali.
Aku menggelar tikar yang ada di
sudut bekas dapur itu. Masih terlihat beberapa perabot rumah tangga menggantung
di sana. Mungkin bisa jadi ini rumah korban dari tentara-tentara itu. Tapi
entah itu rumah siapapun, sekarang aku merasa tenang kembali. Aku pun
merebahkan tubuhku di tikar tersebut. Belum berapa lama aku memejamkan mata,
tiba-tiba terdengar desiran suara hellicopter.
“Gawat,
pasti tentara itu telah mengintai keberadaan kita. Cepat bangun, Key!” kataku
tergopoh-gopoh sambil membangunkan Keyla.
“Apa
Kak? Kita mau kemana lagi?” tanya Keyla.
“Entahlkah,
yang penting sekarang kita harus berlari. Dengar itu, suaranya semakin
mendekat,” aku pun menarik tangan Keyla dan menjaknya kembali berlari. Mungkin
sudah ada lebih daro 100 kilometer aku berlari seharian. Tapi, tanpa
hasil. Aku belum juga menemukan ibuku, “ataukah jangan-jangan ibuku sudah
meninggal bersama orang-orang yang di bom tadi?” pikiranku mulai kalut.
Tiba-tiba aku berada di suatu tempat
yang aku tak tahu itu tempat apa. Aku berteriak mencari ibuku. Keyla tampak
begitu kelelahan. Mungkin dia lapar karena sejak tadi belum terisi enegri sama
sekali. “Semangat Key, kita harus menemukan ibu,” kataku menyemangati Keyla
yang wajahnya dusah pucat pasi.
“Itu
ibu,” teriak Keyla.
“Iya
benar, itu ibu. Ibu..,” teriakku pada sosok wanita yang bersandar pada dinding
bambu itu. Bersama Keyla aku segera berlari menuju ke arah ibu.
“Ibu,
apakah Ibu baik-baik saja?” tanyaku memastikan keadaan ibu.
“Ibu
tidak apa-apa, hanya kelelahan saja karena lama berlari, dimana ayahmu?” tanya
ibuku. Namun, aku dan Keyla tak menjawab. Kami hanya saling pandang dan
menitikkan air mata kesedihan.
“Sudah,
tak usah usah kau bicara. Aku sudah tahu apa yang sudah menimpa ayahmu. Jangan
kau tangisi, ayahmu pergi demi menyelamatkan kita. Menyelamatkan negara kita
yang terancam bahaya. Usap air matamu Keen, kau seorang pemuda tak selayaknya
kau cengeng. Dan kau, Laila, jangan menangis. Kita masih punya kehidupan
panjang,” sahut ibuku sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Baru
sebentar saja, peluru kembali ditembakan. Dan kini mengenai ibuku. Batinku
terasa amat sesak. Di hari yang sama aku harus kehilangan dua orang yang
berarti dalam hidupku.
“Ibu......
bangun Bu, jangan tinggalkan Keen dan Keyla. Bangun Bu,” teriakku memanggil
ibu. Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar di ketuk, dan amat keras.
Tiba-tiba tiga orang masuk, dan mengguling-nggulingkan tubuhku.
“Keen,
bangun Keen. Hey, cepat bangun, dasar anak nakal. Lihat itu sudah jam berapa?
Apa kau tak sekolah?” suara ibuku membangunkanku. Ku pandang wajah ketiga orang
yang amat kucintai itu, dan aku tertawa geli mengingat mimpi burukku. Aku pun
memeluk tubuh ayah dan ibu, mereka pun melihatku dengan tatapan aneh. Ternyata,
semua hanya mimpi. !!
iku seng ndek antologi to?
BalasHapusiya rrok... habis dr antologi tak taruh sini
BalasHapus