Tuhan
Aku
tak selalu mendapat apa yang kumau
Aku
pun tak selalu bisa dengan apa yang ku lakukan
Aku
kecewa, Tuhan
Mengapa
rasanya begitu tidak adil
Aku
merasa ini sebuah permainan
Dan
aku sedang di tengah-tengahnya
Aku
lelah
Aku menyerah
dengan perasaan ini
“Bruukkk....” suara tas ransel yang
ku jatuhkan dari pundakku. Aku merasa keberatan membawa barang-barang sebanyak
ini. Sepertinya teman-teman sudah menungguku di depan halaman Raisa. Cewek
superduper tomboy abiss. Raisa adalah teman seperjuanganku mulai dari TK sampai
SMA ini.
“Buruan
Nad, ntar keburu macet jalanananya.” Teriak Arga dari samping mobil.
“Wussh,
bantuin dong. Ini berat banget. Mana bawaanku banyak lagi.” Teriakku pula
menimpali Arga. Hari ini kita memang sepakat untuk menghabiskan waktu liburan
sekolah buat ke Puncak. Kita bakal nginep di villa milik keluarga Arga. Cowok
putih, tinggi, mancung tapi agak kecewekan. Jelas soalnya dari keseluruhan
saudara Arga yang jumlahnya ada 3 orang itu dialah yang cowok sendiri dan
bagian bontot lagi. Jadi wajar lah kalo dia agak-agak feminin gitu.
“Huuh,
bantuin angkat ke bagasi mobil dong.” Kataku
“Dasar
cewek, nginep dua minggu aja bawaannya banyak banget. Nggak sekalian bawa tuh
rumah atau orang tua elo sekalian biar nggak nangis tiap malem. Hahaha..” Jawab
Dion menimpali. Cowok satu ini memang lumayan keren, katanya. Habis cowok yang
ini nih jadi idola satu sekolah loh. Hebat bukan? Padahal dia juga nggak
ganteng-ganteng amat. Masih gantengan Irfan Bachdim deh kayaknya.
“Yee..
buruan diangkat dong. Malah berlagak bego. Dasar kebo.” Jawabku disertai tawa
renyah Arga dan Raisa.
Selang beberapa menit setelah memasukkan beberapa tas dan
perlengkapan ke bagasi akhirnya mobil bisa meluncur juga. Kami berempat memang
berteman sejak SMP. Dan kebetulan juga pas melanjutkan SMA ke sekolah yang sama
dan di kelas yang sama pula. Jadi tetap se-genk gitu. Meski seperti itu, tapi
kita sulit loh nge-klopin perbedaan kita. Memang sih perbedaan itu indah, tapi
sejalan dengan itu kami belum pernah ada masalah serius kok.
Huh, dasar jalanan Jakarta masih jam setengah 7 pagi sudah macetnya
minta ampun. Bisa malem nih kalo acaranya kayak gini. “Rais, bawa makan kagak?”
tanyaku, memang nih perut karet kok baru bentar jalan udah protes. “Tuh dibawa
sama Dion, minta sama dia aja.” Jawab Raisa.
“Eh
Yon, bagi dong snacknya.Ngakunya elo keren, tapi doyan makan juga.”
“Kamu
juga, bilang aja kalo laper. Dasar cewek gendut.” Jawab Dion menimpali. Memang
inilah kebiasaan kami berempat kalo sudah kumpul, ada saja yang dibicarakan
mulai hal yang penting sampai sama sekali nggak penting.
Rasanya tubuh ini mulai kaku setelah 2 jam berada di dalam mobil,
mana perjalanan masih lama juga. Tapi aku juga nggak kehabisan bahan obralan.
Teman-temanku semuanya rame, yang paling pendiem ya Arga, tapi kalo udah rame
seantereo sekolah pasti denger. “Ini masih lama ya Rais?” tanyaku kepada Raisa.
“Ya
kira-kira satu sampai satu setengah jam lagi lah, kalo kamu capek tidur aja
dulu.” Jawab Raisa.
“Enggak
ah, pemandangannya juga bagus. Yang suka molor tuh ya Dion. Kalo udah tidur
suruh bangun susah banget.” Ejekku pada Dion.
“Apa-apaan
sih kamu, siapa juga yang tidur. Aku tuh lagi menikmati suasana ini. Negative
thinking aja sih.”
“Enggak-enggak
Yon, gitu aja ngambek.” Jawabku sambol memasang earphone ke telingaku. Dan
sejenak aku merebahkan tubuhku di kursi mobil sambil kaki kuselonjorkan.
Dan perjalananpun masih tetap berlanjt. Hingga sekitar pukul 11
sampailah di perbatasan kota. Dan saat ini mobil mulai menuju area pedesaan
yang masih asri, kiri kanan jalan terhampar perkebunan teh dan gunung-gunung
yang menjulang tinggi. Tidak luput juga melintasi tikungan-tikungan yang nggak
bakal di dapat kalo di Jakarta.
“Nah,
bentar lagi kita nyampai teman.” Teriak Raisa.
“Serius?
Wah asyik nih tempatnya.” Jawab Arga.
Nggak
berapa lama setelah itu, akhirnya sampailah di hamparan perkebunan teh.
Sebagian besar kebun teh tersebut milik keluarga Raisa. Tapi sayang Raisa nggak
suka tinggal di villanya, katanya jauh dari mall.
“Oke
guys, udah nyampek sekarang pada bangun gih.”
“Udah
nyapek Rais? Kok kita turun di sini? Mana villamu?” tanyaku penasaran
“Aduh
Nadia sayang, sepertinya kita harus jalan kaki ke sana. Mobilnya nggak bisa
masuk. Ada sih jalanan rayanya, tapi harus muter dulu. Dari pada kelamaan
mending kita jalan aja.”
“Jalan
kaki?” Teriak Dion kaget.
“Iya
Dion gembul. Gitu aja kamu udah shock.”
“Ya
nggak apa-apalah jalan kaki, itung-itung sambil olahraga.” Jawab Arga.
“Okelah,
lets go honey.” Jawab Dion sambil menarik tanganku.
Memang kebiasaan Dion, sukanya memaksa kehendak sendiri. Dia pun
berjalan masih dengan menggenggam tanganku. Kamu berjalan beriringan, rasanya
tak ingin jauh. Sepanjang perjalanan udara segar menyambut ramah. Cuaca memang
sedikit panas, tapi setidaknya ini mengobati kehausanku akan udara segar, habis
kalo udah di Jakarta udaranya malah bisa-bisa tambah panas dan berdebu. Sekitar
setengah jam berjalan sampai juga di villa milik Raisa. Villa yang lumayan
berukuran besar dan sepertinya nyaman juga. Sampai di pintu masuk, seorang
pengurus villa sudah menyambut ramah.
“Mbak
Raisa ya? Sudah dari tadi Mbak?” tanya Pak Men penjaga villa.
“Enggak
kok Pak, eh Pak kita mau nginep sini buat 2 minggu. Siapin kamar ya Pak.”
“Oh
iya Mbak, tadi sudah saya siapkan. Tuan sudah menelpon saya katanya mbak Raisa
mau datang.”
“Yaudah
Pak, terimakasih.”
Kami
pun bergegas masuk villa, dan benar villa itu masih klasik sekali. Ornamen yang
dipakai juga masih sangat sederhana, kental adat jawanya.
“Nad,
elo tidur sama gue. Biar Dion sama Arga di kamar samping.” Kata Raisa.
“Okelah,
aku nurut aja.” Jawabku mengikuti Raisa menuju kamar.
Setelah
sampai aku merebahkan tubuh di bed dan tidur untuk beberapa saat. Teman-teman
yang lain pun juga ketiduran mungkin karena terlalu lelah perjalanan.
****
Hari pertama di puncak dan rasanya
menikmati udara pagi paling segar sepanjang hidupku. Mungkin kalo aku tinggal
di sini bakalan betah, tapi tidak untuk Raisa.
“Rais,
bangun gih, udah pagi loh.” Sambutku membangunkan Raisa.
“Umm,
udah pagi ya? Perasaan baru nyampek deh, mungkin kita terlalu lelah ya Nad.”
Jawab Raisa sambil bergegas bangun.
“Ya
bisa jadi gitu sih, keluar yuk cari udara segar di luar.” Kataku sambil membuka
selambu kamar.
“Oke,
tunggu di luar ya, aku cuci muka dulu sekalian kamu ajak Arga sama Dion.”
Akupun
bergegas keluar kamar dan menuju kamar Dion, ternyata Dion dan Arga sudah tidak
di kamarnya. Mungkin mereka sudah bangun terlebih dulu. Jadi aku putuskan untuk
langsung menuruni anak tangga dan menuju ruang bawah. Di sana sudah menunggu
Arga dan Dion, wajahnya ceria sekali sepertinya mereka begitu menikmati liburan
kali pertama ini.
"Pagi-pagi
udah cengengesan aja lo?” kataku kepada Arga.
“Iya
nih, nungguin kamu sama Raisa lama banget. Kebiasaan ya kalo tidur di rumah bangunnya
siang-siang?” Jawab Arga.
“Ih,
enggak juga lah. Eh keluar yuk, tapi tunggu Raisa dulu ya.”
“Okelah,
apa sih yang enggak buat kamu.” Jawab Dion.
Selang
beberapa menit Raisa sudah turun dengan kaos kuning oblongnya dan membawa jaket
berwarna cream yang senada dengan pakaiannya saat itu. Akhirnya kita pun keluar
rumah menikmati udara pagi yang rasanya segar banget. Di sepanjang perjalanan
hamparan kebun teh dan pegunungan menjadi daya tarik tersendiri. Hari itu aku
mengajak mereka ke sebuah danau kecil di dekat villa Raisa. Di sana aku
menikmati keindahan dunia. Ya, ini memang tempat favoritku. Udara sejuk, di
bawah pohon yang rindang bersama mereka. Aku dan Dionpun memutuskan untuk
beristirahat di bawah pohon itu sambil menikmati keindahan danau sedangkan Arga
ngotot ingin melanjutkan perjalanan bersama Raisa.
“Tempatnya
keren ya Yon.” Kataku memulai pembicaraan.
“Iya,
kalo di jakarta mana ada tempat se eksotik kayak gini. Paling-paling yang ada
danau tumpukan sampah ciliwung. Hahahaha.”
“Ya
benar juga sih, kamu suka tempat ini?”
“Ya
suka banget malah. Aku tuh punya pengalaman indah tentang danau. Entah kenapa
aku begitu menyukainya.”
“Apa
tuh? Cerita dong.”
“Ah
elo mau tau aja sih. Lanjutin perjalanan yuk. Tuh mereka udah jauh.”
“Yah,
Dion.. yaudah lah ayuk.” Akupun berdiri dan menaiki jalanan yang sedikit
menanjak tapi tiba-tiba kakiku terpeleset dan bruukkk... “Oh Tuhan.. Dion
menyelamatkanku. Matanya menatap erat mataku seakan pandangannya tak ingin
pergi dan tangannya menggenggam erat tanganku seakan jemarinya ingin menyatukan
jemariku dan jemarinya.”
“Kamu
nggak apa-apa kan Nad? Hati-hati dong lain kali.” Kata Dion. Seketika akupun
tersadar bahwa aku dan Dion hanyalah sebatas teman dan aku tak mungkin
menerobos batas itu. Dan ini yang harus aku mengerti.
“Eh
uh, eng..enggak papa kok. Makasih ya Yon. Tapi sepertinya kakiku sedikit
terkilir deh. Bisa bantuin jalan nggak?” kataku merengek.
“Yaudah
gue gendong aja ya dari pada ntar kaki lo napa-napa kalo gue pijit.”
“Haa?
Enggak deh, kamu bantuin jalan aja Yon. Nggak papa kok.”
Tapi
tubuh Dion yang tambun itu langsung menerkamku dan menggendongku dan aku pun
tak tahu harus berbuat apa. Aku menyukainya, ya mungkin aku menyukainya. Tapi
hanya bisa memandangnya dari jauh karena kita sudah terlalu sering bersama,
rasanya nggak akan mungkin kita pacaran. Dan menyimpan rasa ini yang cukup lama
ini begitu menyakitkan benar-benar menyakitkan.
Selang
beberapa menit akupun sampai di villa. Raisa menyambutku dengan khawatir.
“Kakimu
itu kenapa? Kenapa bisa seperti itu?”
“Aduh,
ceritanya panjang deh. Sekarang kamu ambilin air panas ya biar aku kompres
kakinya Nadia.” Jawab Dion, dan kali ini jantungku lebih berdebar lagi. Rasanya
langit ikut merasakan kebahagianku. Dion membaringkan tubuhku di sofa.
Lagi-lagi mata itu menatapku lebih lama dari biasanya. Dan itu yang membuatku
tak bisa berbuat apa-apa.
“Maaf
Dion aku sudah merepotkanmu.”
“Sudahlah
nggak papa kok. Kita kan teman.” Jawab Dion. Batinku terisak, bukan Dion, bukan
teman yang kuinginkan. Lebih dari sekedar itu.
“Yaudah
aku kompres kakimu dulu ya. Kamu diem aja jangan bergerak” Saat itu Dion kenapa
bersikap dewasa sekali tak seperti biasanya. Oh Tuhan. Lagi-lagi aku terlelap
dengan tatapan dan senyuman itu. Dionpun mengompres kakiku yang bengkak.
“Udah
nih, kamu istirahat aja ya. Aku tinggal. Kamu jagain ya Rais.” Kata Dion sambil
berlalu membawa baskom air hangat.
****
Kini malampun menjelma. Masih dengan kaki dibalut perban dan
sedikit jalan pincang mungkin akan menjadi pengganjal liburanku. Tiba-tiba ponselku
berdering. Satu pesan masuk dan aku begitu terkejut kala melihat siapa pengirim
sms itu. Dion. Tumben sekali Dion mengirimkan pesan kepadaku.
From : Dion
Lain kali
hati-hati ya cantik.. :P
Akupun
berulang-ulang membaca pesan itu, tidak seperti biasanya. Dion yang super
ngeselin dan bawel. Aku pun membalas pesannya.
To : Dion
Pasti Dion,
makasih ya buat hari ini J
Akupun
menghabiskan malam itu di kamar. Entah mengapa rasanya batinku semakin
berteriak bahwa aku benar menyukai Dion.
****
Dua minggu berlalu menghabiskan liburan bersama mereka, rasanya
capek, bahagia, seneng campur jadi satu. Dan hari ini pertama kali untuk masuk
sekolah. Tapi selama itu pula Dion tak pernah mengirimkan pesan lagi, hubungan
pertemanku dengannya juga semakin jauh. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja.
Ya mungkin ini perasaanku saja. Tapi mengapa Arga menjadi semakin dekat
denganku. Apakah ini wajar? Tiba-tiba
ponselku berdering, dan betapa senangnya aku. Langsung saja aku buka.
From : Arga
Seindah senyummu
hari ini, menjadi penyemangatku mengawali hari J
Hah,
mengapa Arga mengirimkan pesan seperti ini. Sebenarnya ada apa dengan mereka
berdua. Semenjak Dion tak ada kabar, mengapa Arga yang sekarang jadi serba
ingin tahu tentangku. Akupun membalas pesan Arga.
To : Arga
Terimakasih atas
pujianmu.. J
Entahlah,
di sekolahpun Dion tak terlihat hari ini. Mungkin dia sakit. Dan benar firasatku, biasanya kalo lagi
istirahat begini aku dan teman-teman pasti ngumpul di kantin. Dan ini hanya 3
anak saja. Sepi tanpa Dion, karena ya hanya Dion yang bisa membuat suasana jadi
rame. Akupun beranikan mengirimkan pesan kepadanya.
To : Dion
Apa kabar Dion?
Kamu kenapa nggak masuk sekolah?
Lima, sepuluh, lima belas menit tak ada balasan. Hingga bel pulang
sekolah pun masih tak ada jawaban. Kamu ada apa Dion? Kenapa di saat aku merasa
dekat denganmu, kamu malah tak ada. Apa yang terjadi? Sekali lagi batinku
menangis. Tiba di rumah akupun langsung menuju kamar dan menenggelamkan
kepalaku di anatara bantal, tak terasa air mata mulai menetes. Kenapa harus ada
air mata? Kenapa kamu memberi harapan kepadaku Yon? Teriakku dalam hati. Aku
pun bangkit dan meraih ponselku, dan lagi-lagi tak ada pesan dari Dion. Kamu
kemana? Aku rindu kamu.
Tak
berapa lama, ponselku berdering. Tapi bukan Dion, melainkan Arga.
From : Arga
Sedang apa malam
ini ? Kala bintang dan bulan tersenyum menyaksikanmu.
Akupun
membalas pesan Arga.
To : Arga
Lagi suntuk.
Udah ya mau tidur.
Ya,
aku memutuskan untuk tidur. Mencoba melupakan Dion dan hari indah bersamanya.
Keesokan
harinya. Saat ku buka ponsel. Ada satu pesan masuk, dan itu dari Dion. Oh
Tuhan, kenapa aku harus tertidur tadi malam. Akupun buru-buru membacanya.
From: Dion
Maaf Nad,
mungkin mulai saat ini aku tak lagi bisa bersamamu dan teman-temanmu Karena
orangtuaku memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan menetap di sana. Rasa
kehilangan pasti ada, dan aku minta maaf sengaja tidak memberitahumu. Tapi aku
sudah memberitahu Arga dan Raisa tentang kepindahanku. Aku hanya tak ingin
membuatmu terluka dan menangis dihadapanku. Karena aku tahu kamu menyimpan rasa
untukku, ketahuilah akupun juga begitu. Aku tak bisa membohongi tatapan kala
itu. Aku mencintaimu kemarin, hari ini dan selamanya. Selamat tinggal.
Sekali
lagi aku menyakinkan isi pesan itu. Dan dengan sekuat hatiku akupun membalas
pesan Dion. Dan menahan air mata yang jatuh perlahan di kedua pipiku.
To : Dion
Aku kecewa sama
kamu.
Tapi mulai saat itu juga Dion tak lagi membalas pesan-pesanku. Aku
terisak. Rasanya aku tak bisa dipermainkan seperti ini. Apa arti tatapan kala
itu kalau pada akhirnya Dion meninggalkanku. Mengapa sama sekali tak ada kabar
tentang dia?
Dua bulan setelah kepindahan Dion, aku mulai menyesuaikan
keadaanku. Aku harus move on. Mungkin ada benarnya Dion bukan tercipta untukku.
Aku harus menyadari itu. Aku masih punya keluarga dan dua sahabat yang setia
menemani keluh kesahku.
Aku harus tetap menjadi Nadia yang dulu, Nadia yang selalu menanyakan
kabar Dion. Entah itu Dion membacanya atau bahkan langsung menghapusnya. Pagi
itu dunia seakan ikut berkabung melihatku tak setegar dulu. Ya, mungkin aku
harus melupakan Dion. Karena saat ini telah ada Arga di sampingku. Rasa yang
ada 2 tahun terakhir ini harus aku kubur dalam-dalam dan mencoba membuka lembar
baru bersama Arga.
“Pulang
sekolah makan bareng yuk, Sayang.” Kata Arga di mendung sore kala itu.
“It’s
okay, ku tunggu di parkiran sekolah ya.” Jawabku sambil mengiyakan ajakan Arga.
Dan saat itu pula aku menyadari bahwa tak semua yang kumau harus
kumiliki. Aku harus bisa belajar menerima dan harus mau menerima setiap jalan
yang telah digariskan Tuhan untukku. Setidaknya dengan begini aku akan
menemukan sahabat dan duniaku sendiri. Tanpa harus aku menunggu sesuatu yang
tidak pasti. Argapun bisa membahagiakan aku dengan kesederhanaannya. Dan Dion?
Dion telah bahagia dengan kekasih barunya di Surabaya. Itupun aku tahu dari
Raisa. Dan baru kusadari juga, dua minggu terindah itu kini menjelma bak hujan
di kemarau panjang yang sejenak memberi kedamaian di hati dan ketenangan di
jiwa yang mengukir cerita terindah yang harus bisa kulupakan.
Tuhan
Sekarang
aku mengerti
Terkadang
waktu mengizinkan seseorang untuk bertemu
Meski
pada akhirnya harus berpisah
Terkadang
aku harus bisa menerima dan memahami
Atas
apa yang Engkau kehendaki
Terimakasih
untuk dua minggu yang Kau beri..