Minggu, 09 Februari 2014

Biasanya



Pagi..
Biasanya engkau yang membangunkanku dari sisa mimpi semalam, dan aku menyuruhmu pergi
Biasanya engkau yang menyiapkan air hangat untukku kala dingin merasuk sendiku, dan aku berteriak memakimu karena airnya terlalu panas
Biasanya engkau yang memasakkan masakan kesukaanku dan aku membuang makanan itu
Biasanya engkau tak lupamengucapkan “hati-hati dijalan” ketika aku hendak berangkat, dan aku hanya melambaikan tangan
Siang
Biasanya engkau bersenandung lirih, dan aku mengatakan bahwa kamu berisik
Biasanya engkau menjadi sandaranku kala dunia memandangkudengan sebelah mata
Biasanya engkau hanya tersenyum saat aku merusak semua barang kesayanganmu
Sore
Biasanya engkau datang membawa secangkir teh manis sekedar teman duduk manis, dan aku menyuruhmu masuk kerumah
Akupun tak peduli dengan keadaanmu
Malam
Tak ada biasa-biasanya itu
Tak ada yang membangunkanku kala pagi
Tak ada senandung lirih yang biasa kudengar
Tak ada teh manis setiap sore
Tak ada yang mengingatkan tentang lima waktu
Yang ada hanyalah
Barisan doa disetiap sujud malamku
Untuk untaian kasih yang tak sempat terbalas
Agar engkau bahagia di sana, Bunda
Terimakasih untuk cinta yang sempat tercipta

Key


           
Senja baru saja merayap, menapakkan cahayanya yang angun. Hewan-hewan malam mulai mengepakkan sayapnya untuk mencari sumber kehidupan. Dan kali ini, aku berada di sana, di ruang tamu yang kecil. Di sampingku, seorang gadis usia 13 tahun duduk menemaniku. Dia seorang gadis yang imut, cantik dan menggemaskan. Dia mengenakan gaun berwarna merah maroon. Aku senang menyebutnya Keyla, meski nama sebenarnya Laila.
            Dia gadis yang cerdas. Di antara teman sebayanya, dia yang paling cerdas dan pintar. Dia bak sebuah kunci gerbang istana pengetahuan. Jadi tak salah aku memanggilnya Keyla. Dia kunci bagiku. Kunci kebahagianku. Keyla adalah adik tiriku, meski kami berbeda ibu namun banyak persamaan dalam diri kami.
            Di sudut ruang tamu, ada sebuah piano tua. Memang sudah usang, jarang di sentuh pula. Aku masih ingat ketika ibuku dulu sering sekali memainkan piano itu. Tangannya terasa gatal dan gemas ketika melihat piano klassik yang sudah 10 tahun berada di sudut ruang tamu. Ketika jari-jemari ibuku menyentuh tuts-tuts piano itu, alunan nada sendu terdengar merdu sekali.
            Keyla menatapku lagi. Tatapannya sendu, wajahnya muram dan lemas. Sesekali dia menengok ke arah jam dinding. Dia menampakkan raut wajah yang nampaknya tidak alami. Aku sendiri masih belum mengerti dengan keadaan yang dialaminya sekarang.
“Dorr dorr dorr....,”
Sebuah suara yang keras dan tak asing lagi bagi kami. Suara peluru dan  bom kembali mengisi ruangan ini. Ya ruangan yang tak akan pernah asing lagi dengan suara semacam ini. Pistol dengan merk ternama hingga merk yang tak ada harganya pernah singgah di sini. Segala macam bom yang mematikan atau sekedar membuat bulu kuduk merinding pun pernah diledakkan di sini. Ya, di tempat ini. Di tempat aku sekarang berada.
Dan saat itu kembali lagi, saat pasukan-pasukan tentara dari negara tetangga kembali memberontak di kubu kami. Kami hanyalah masyarakat miskin yang tertindas. Air mata berurai darah sudah biasa di sini. Saat itu, aku masih ingat betul. Hari selasa, ketika pengeboman kembali terjadi. Pesawat hellicopter sudah berada di angkasa, dan rasanya sebentar lagi ajal akan menjemput.
“Tidak...,” jerit Keyla adikku.
“Lihat itu Key, semakin mendekat. Sudah tidak ada waktu lagi,” jawabku sambil terengah-engah.
“Lebih cepat lagi Kak. Kalahkan semuanya,” jawab Keyla dengan kepanikannya.
“Aku tak mau mati konyol di sini, cari tempat persembunyian yang aman,” ajakku pada Keyla.
“Tidak Kak, aku juga tak ingin mati konyol. Tapi lihat, mereka telah mengepung daerah kita. Tak ada jalan lain selain menyerahkan nyawa kita,” jawab Keyla.
“Tidak kah kau ingat saat aku harus kehilangan ibuku? Aku tak ingin itu terjdi padamu,” jawabku penuh sesak.
“Sudah tidak ada waktu lagi Kak. Cepat lari” Keyla menarik tanganku dan kita  berlari menyusuri jalanan yang telah dikepung oleh prajurit dari negara gila itu.
Langkahku semakin gontai, tak ada tempat lagi untuk bersembunyi. “Ayah, di manakah engkau?” jeritku dalam hati. Keyla terus menarik tanganku, aku telah gagal menjadi seorang kakak. Aku tak bisa bertindak tegas dalam menangani situasi seperti ini.
            Semua tempat di sini tela dikepung oleh pasukan tentara. Segala macam senjata tajam dapat dengan mudah menghunus relung hati kami. Langkahku semakin tak pasti, tempat persembunyian macam apa yang harus aku tuju. Jatuh bangun sudah biasa, dan ini bukan hal yang pertama. Aku takut Tuhan. Haruskah di usiaku yang masih 17 tahun ini merasakan kepedihan yang seharusnya belum ku alami.
            Aku ingin segera bebas dari cengkraman orang-orang gila yang haus akan kekuasaan itu. Korban semakin berjatuhan, ku lihat di sana ayahku sedang di kepung oleh tentara-tentara itu.
“Ayaahhhhhhhhh...,” teriakku dengan keras.
“Cepat lari Nak, jangan hiraukan aku,” jawab ayahku.
Genggaman tangan Keyla lepas dari tanganku.
“Key, mengapa kau lepaskan?” tanyaku.
“Aku tak tega melihat ayah, dasar tentara biadab,” jawab Keyla sambil menangis histeris.
Tinggal menunggu detik demi detik untuk menyaksikan kematian ayahku yang begitu mengenaskan. Tapi aku tak ingin ayahku mati senista itu. Keberanian yang bagaimana yang harus aku kumpulkan untuk melindungi ayahku. Dia ayahku, seorang yang telah banyak berjasa buatku.
“Cepat selamatkan ayah, Kak. Tidakkah kau lihat, ayah begitu tersakiti dengan kekangan tentara gila itu,?” sahut Keyla yang sedari tadi berdiri cemas di sampingku. Ya, aku harus berjuang demi Ayah, Keyla dan semuanya. Tidak akan kubirakan peluru-peluru dan bom dari tentara gila itu mengenai keluargaku. Ayah adalah prioritas utamaku setelah Keyla. Aku pun hendak berlari menuju arah ayah. Namun beliau menghentikanku.
“Jangan lari ke sini, cepat selamatkan adik dan ibumu. Cepat lari Keenan. Tunggu apalagi, lari Keenan,” kata-kata ayah barusan menyadarkanku, bahwa aku masih punya ibu meski bukan ibu kandungku. Tapi bagaimana dengan nasib ayah. Maut sudah di depan mata. Tenntara-tentara gila itu menoleh ke arahku, langkahku menjadi getir.
“Lari Keenan, lari,” teriak ayah sekali lagi.
“Tapi Yah, aku harus menyelamatkanmu,” jawabku.
“Tidak, kau harus lari bersama Laila dan selamatkan ibumu!” teriak ayahku.
“Iya Yah, demi engkau akan ku bawa ibu dan Keyla dengan selamat.” Aku bergegas menarik Keyla dan segera mungkin berlari menjauh. Namun, masih dua langkah peluru telah ditembakkan. Dan aku tahu apa yang terjadi, pasti itu ayah yang telah menjadi korban. Aku pun tak berani membalik badan, ku tarik tangan Keyla dan segera menjauh dari tempat setan itu.
            Akhirnya aku menemukan sebuah rumah tua yang ku pikir pasti tentara-tentara gila itu tak menemukan tempat persembunyianku. Aku masuk dengan mengendap-endap sambil masih ku genggam erat tangan Keyla.
“Kita di mana, Kak?” tanya Keyla.
“Entahlah, aku sendiri tak tahu. Yang pasti kita masih selamat. Jangan pernah lepas genggaman ini. Aku tak ingin kau terjadi apa-apa,” jawabku.
Rumah  itu bernuansa klassik, bangunannya masih terbuat dari kayu. Debu tebal menyelimuti perapot rumah tersebut. Sepertinya, gedung ini telah lama ditinggalkan penghuninya. Mungkin saja aku bisa bermalam di sini bersama Keyla. Aku menyusuri rumah tua itu, dan kurasa rumah tersebut aman untuk bermalam sehari saja. Mengingat, di luar dingin sekali.
            Aku menggelar tikar yang ada di sudut bekas dapur itu. Masih terlihat beberapa perabot rumah tangga menggantung di sana. Mungkin bisa jadi ini rumah korban dari tentara-tentara itu. Tapi entah itu rumah siapapun, sekarang aku merasa tenang kembali. Aku pun merebahkan tubuhku di tikar tersebut. Belum berapa lama aku memejamkan mata, tiba-tiba terdengar desiran suara hellicopter.
“Gawat, pasti tentara itu telah mengintai keberadaan kita. Cepat bangun, Key!” kataku tergopoh-gopoh sambil membangunkan Keyla.
“Apa Kak? Kita mau kemana lagi?” tanya Keyla.
“Entahlkah, yang penting sekarang kita harus berlari. Dengar itu, suaranya semakin mendekat,” aku pun menarik tangan Keyla dan menjaknya kembali berlari. Mungkin sudah ada lebih daro 100 kilometer aku berlari seharian. Tapi, tanpa hasil. Aku belum juga menemukan ibuku, “ataukah jangan-jangan ibuku sudah meninggal bersama orang-orang yang di bom tadi?” pikiranku mulai kalut.
            Tiba-tiba aku berada di suatu tempat yang aku tak tahu itu tempat apa. Aku berteriak mencari ibuku. Keyla tampak begitu kelelahan. Mungkin dia lapar karena sejak tadi belum terisi enegri sama sekali. “Semangat Key, kita harus menemukan ibu,” kataku menyemangati Keyla yang wajahnya dusah pucat pasi.
“Itu ibu,” teriak Keyla.
“Iya benar, itu ibu. Ibu..,” teriakku pada sosok wanita yang bersandar pada dinding bambu itu. Bersama Keyla aku segera berlari menuju ke arah ibu.
“Ibu, apakah Ibu baik-baik saja?” tanyaku memastikan keadaan ibu.
“Ibu tidak apa-apa, hanya kelelahan saja karena lama berlari, dimana ayahmu?” tanya ibuku. Namun, aku dan Keyla tak menjawab. Kami hanya saling pandang dan menitikkan air mata kesedihan.
“Sudah, tak usah usah kau bicara. Aku sudah tahu apa yang sudah menimpa ayahmu. Jangan kau tangisi, ayahmu pergi demi menyelamatkan kita. Menyelamatkan negara kita yang terancam bahaya. Usap air matamu Keen, kau seorang pemuda tak selayaknya kau cengeng. Dan kau, Laila, jangan menangis. Kita masih punya kehidupan panjang,” sahut ibuku sambil mengusap air mata yang membasahi pipinya.
Baru sebentar saja, peluru kembali ditembakan. Dan kini mengenai ibuku. Batinku terasa amat sesak. Di hari yang sama aku harus kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku.
“Ibu...... bangun Bu, jangan tinggalkan Keen dan Keyla. Bangun Bu,” teriakku memanggil ibu. Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu kamar di ketuk, dan amat keras. Tiba-tiba tiga orang masuk, dan mengguling-nggulingkan tubuhku.
“Keen, bangun Keen. Hey, cepat bangun, dasar anak nakal. Lihat itu sudah jam berapa? Apa kau tak sekolah?” suara ibuku membangunkanku. Ku pandang wajah ketiga orang yang amat kucintai itu, dan aku tertawa geli mengingat mimpi burukku. Aku pun memeluk tubuh ayah dan ibu, mereka pun melihatku dengan tatapan aneh. Ternyata, semua hanya mimpi. !!

Pelangi Di Antara Mega



Tuhan
Aku tak selalu mendapat apa yang kumau
Aku pun tak selalu bisa dengan apa yang ku lakukan
Aku kecewa, Tuhan
Mengapa rasanya begitu tidak adil
Aku merasa ini sebuah permainan
Dan aku sedang di tengah-tengahnya
Aku lelah
Aku menyerah dengan perasaan ini

            “Bruukkk....” suara tas ransel yang ku jatuhkan dari pundakku. Aku merasa keberatan membawa barang-barang sebanyak ini. Sepertinya teman-teman sudah menungguku di depan halaman Raisa. Cewek superduper tomboy abiss. Raisa adalah teman seperjuanganku mulai dari TK sampai SMA ini.
“Buruan Nad, ntar keburu macet jalanananya.” Teriak Arga dari samping mobil.
“Wussh, bantuin dong. Ini berat banget. Mana bawaanku banyak lagi.” Teriakku pula menimpali Arga. Hari ini kita memang sepakat untuk menghabiskan waktu liburan sekolah buat ke Puncak. Kita bakal nginep di villa milik keluarga Arga. Cowok putih, tinggi, mancung tapi agak kecewekan. Jelas soalnya dari keseluruhan saudara Arga yang jumlahnya ada 3 orang itu dialah yang cowok sendiri dan bagian bontot lagi. Jadi wajar lah kalo dia agak-agak feminin gitu.
“Huuh, bantuin angkat ke bagasi mobil dong.” Kataku
“Dasar cewek, nginep dua minggu aja bawaannya banyak banget. Nggak sekalian bawa tuh rumah atau orang tua elo sekalian biar nggak nangis tiap malem. Hahaha..” Jawab Dion menimpali. Cowok satu ini memang lumayan keren, katanya. Habis cowok yang ini nih jadi idola satu sekolah loh. Hebat bukan? Padahal dia juga nggak ganteng-ganteng amat. Masih gantengan Irfan Bachdim deh kayaknya.
“Yee.. buruan diangkat dong. Malah berlagak bego. Dasar kebo.” Jawabku disertai tawa renyah Arga dan Raisa.
Selang beberapa menit setelah memasukkan beberapa tas dan perlengkapan ke bagasi akhirnya mobil bisa meluncur juga. Kami berempat memang berteman sejak SMP. Dan kebetulan juga pas melanjutkan SMA ke sekolah yang sama dan di kelas yang sama pula. Jadi tetap se-genk gitu. Meski seperti itu, tapi kita sulit loh nge-klopin perbedaan kita. Memang sih perbedaan itu indah, tapi sejalan dengan itu kami belum pernah ada masalah serius kok.
Huh, dasar jalanan Jakarta masih jam setengah 7 pagi sudah macetnya minta ampun. Bisa malem nih kalo acaranya kayak gini. “Rais, bawa makan kagak?” tanyaku, memang nih perut karet kok baru bentar jalan udah protes. “Tuh dibawa sama Dion, minta sama dia aja.” Jawab Raisa.
“Eh Yon, bagi dong snacknya.Ngakunya elo keren, tapi doyan makan juga.”
“Kamu juga, bilang aja kalo laper. Dasar cewek gendut.” Jawab Dion menimpali. Memang inilah kebiasaan kami berempat kalo sudah kumpul, ada saja yang dibicarakan mulai hal yang penting sampai sama sekali nggak penting.
Rasanya tubuh ini mulai kaku setelah 2 jam berada di dalam mobil, mana perjalanan masih lama juga. Tapi aku juga nggak kehabisan bahan obralan. Teman-temanku semuanya rame, yang paling pendiem ya Arga, tapi kalo udah rame seantereo sekolah pasti denger. “Ini masih lama ya Rais?” tanyaku kepada Raisa.
“Ya kira-kira satu sampai satu setengah jam lagi lah, kalo kamu capek tidur aja dulu.” Jawab Raisa.
“Enggak ah, pemandangannya juga bagus. Yang suka molor tuh ya Dion. Kalo udah tidur suruh bangun susah banget.” Ejekku pada Dion.
“Apa-apaan sih kamu, siapa juga yang tidur. Aku tuh lagi menikmati suasana ini. Negative thinking aja sih.”
“Enggak-enggak Yon, gitu aja ngambek.” Jawabku sambol memasang earphone ke telingaku. Dan sejenak aku merebahkan tubuhku di kursi mobil sambil kaki kuselonjorkan.
Dan perjalananpun masih tetap berlanjt. Hingga sekitar pukul 11 sampailah di perbatasan kota. Dan saat ini mobil mulai menuju area pedesaan yang masih asri, kiri kanan jalan terhampar perkebunan teh dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Tidak luput juga melintasi tikungan-tikungan yang nggak bakal di dapat kalo di Jakarta.
“Nah, bentar lagi kita nyampai teman.” Teriak Raisa.
“Serius? Wah asyik nih tempatnya.” Jawab Arga.
Nggak berapa lama setelah itu, akhirnya sampailah di hamparan perkebunan teh. Sebagian besar kebun teh tersebut milik keluarga Raisa. Tapi sayang Raisa nggak suka tinggal di villanya, katanya jauh dari mall.
“Oke guys, udah nyampek sekarang pada bangun gih.”
“Udah nyapek Rais? Kok kita turun di sini? Mana villamu?” tanyaku penasaran
“Aduh Nadia sayang, sepertinya kita harus jalan kaki ke sana. Mobilnya nggak bisa masuk. Ada sih jalanan rayanya, tapi harus muter dulu. Dari pada kelamaan mending kita jalan aja.”
“Jalan kaki?” Teriak Dion kaget.
“Iya Dion gembul. Gitu aja kamu udah shock.”
“Ya nggak apa-apalah jalan kaki, itung-itung sambil olahraga.” Jawab Arga.
“Okelah, lets go honey.” Jawab Dion sambil menarik tanganku.
Memang kebiasaan Dion, sukanya memaksa kehendak sendiri. Dia pun berjalan masih dengan menggenggam tanganku. Kamu berjalan beriringan, rasanya tak ingin jauh. Sepanjang perjalanan udara segar menyambut ramah. Cuaca memang sedikit panas, tapi setidaknya ini mengobati kehausanku akan udara segar, habis kalo udah di Jakarta udaranya malah bisa-bisa tambah panas dan berdebu. Sekitar setengah jam berjalan sampai juga di villa milik Raisa. Villa yang lumayan berukuran besar dan sepertinya nyaman juga. Sampai di pintu masuk, seorang pengurus villa sudah menyambut ramah.
“Mbak Raisa ya? Sudah dari tadi Mbak?” tanya Pak Men penjaga villa.
“Enggak kok Pak, eh Pak kita mau nginep sini buat 2 minggu. Siapin kamar ya Pak.”
“Oh iya Mbak, tadi sudah saya siapkan. Tuan sudah menelpon saya katanya mbak Raisa mau datang.”
“Yaudah Pak, terimakasih.”
Kami pun bergegas masuk villa, dan benar villa itu masih klasik sekali. Ornamen yang dipakai juga masih sangat sederhana, kental adat jawanya.
“Nad, elo tidur sama gue. Biar Dion sama Arga di kamar samping.” Kata Raisa.
“Okelah, aku nurut aja.” Jawabku mengikuti Raisa menuju kamar.
Setelah sampai aku merebahkan tubuh di bed dan tidur untuk beberapa saat. Teman-teman yang lain pun juga ketiduran mungkin karena terlalu lelah perjalanan.
****
            Hari pertama di puncak dan rasanya menikmati udara pagi paling segar sepanjang hidupku. Mungkin kalo aku tinggal di sini bakalan betah, tapi tidak untuk Raisa.
“Rais, bangun gih, udah pagi loh.” Sambutku membangunkan Raisa.
“Umm, udah pagi ya? Perasaan baru nyampek deh, mungkin kita terlalu lelah ya Nad.” Jawab Raisa sambil bergegas bangun.
“Ya bisa jadi gitu sih, keluar yuk cari udara segar di luar.” Kataku sambil membuka selambu kamar.
“Oke, tunggu di luar ya, aku cuci muka dulu sekalian kamu ajak Arga sama Dion.”
Akupun bergegas keluar kamar dan menuju kamar Dion, ternyata Dion dan Arga sudah tidak di kamarnya. Mungkin mereka sudah bangun terlebih dulu. Jadi aku putuskan untuk langsung menuruni anak tangga dan menuju ruang bawah. Di sana sudah menunggu Arga dan Dion, wajahnya ceria sekali sepertinya mereka begitu menikmati liburan kali pertama ini.
"Pagi-pagi udah cengengesan aja lo?” kataku kepada Arga.
“Iya nih, nungguin kamu sama Raisa lama banget. Kebiasaan ya kalo tidur di rumah bangunnya siang-siang?” Jawab Arga.
“Ih, enggak juga lah. Eh keluar yuk, tapi tunggu Raisa dulu ya.”
“Okelah, apa sih yang enggak buat kamu.” Jawab Dion.
Selang beberapa menit Raisa sudah turun dengan kaos kuning oblongnya dan membawa jaket berwarna cream yang senada dengan pakaiannya saat itu. Akhirnya kita pun keluar rumah menikmati udara pagi yang rasanya segar banget. Di sepanjang perjalanan hamparan kebun teh dan pegunungan menjadi daya tarik tersendiri. Hari itu aku mengajak mereka ke sebuah danau kecil di dekat villa Raisa. Di sana aku menikmati keindahan dunia. Ya, ini memang tempat favoritku. Udara sejuk, di bawah pohon yang rindang bersama mereka. Aku dan Dionpun memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon itu sambil menikmati keindahan danau sedangkan Arga ngotot ingin melanjutkan perjalanan bersama Raisa.
“Tempatnya keren ya Yon.” Kataku memulai pembicaraan.
“Iya, kalo di jakarta mana ada tempat se eksotik kayak gini. Paling-paling yang ada danau tumpukan sampah ciliwung. Hahahaha.”
“Ya benar juga sih, kamu suka tempat ini?”
“Ya suka banget malah. Aku tuh punya pengalaman indah tentang danau. Entah kenapa aku begitu menyukainya.”
“Apa tuh? Cerita dong.”
“Ah elo mau tau aja sih. Lanjutin perjalanan yuk. Tuh mereka udah jauh.”
“Yah, Dion.. yaudah lah ayuk.” Akupun berdiri dan menaiki jalanan yang sedikit menanjak tapi tiba-tiba kakiku terpeleset dan bruukkk... “Oh Tuhan.. Dion menyelamatkanku. Matanya menatap erat mataku seakan pandangannya tak ingin pergi dan tangannya menggenggam erat tanganku seakan jemarinya ingin menyatukan jemariku dan jemarinya.”
“Kamu nggak apa-apa kan Nad? Hati-hati dong lain kali.” Kata Dion. Seketika akupun tersadar bahwa aku dan Dion hanyalah sebatas teman dan aku tak mungkin menerobos batas itu. Dan ini yang harus aku mengerti.
“Eh uh, eng..enggak papa kok. Makasih ya Yon. Tapi sepertinya kakiku sedikit terkilir deh. Bisa bantuin jalan nggak?” kataku merengek.
“Yaudah gue gendong aja ya dari pada ntar kaki lo napa-napa kalo gue pijit.”
“Haa? Enggak deh, kamu bantuin jalan aja Yon. Nggak papa kok.”
Tapi tubuh Dion yang tambun itu langsung menerkamku dan menggendongku dan aku pun tak tahu harus berbuat apa. Aku menyukainya, ya mungkin aku menyukainya. Tapi hanya bisa memandangnya dari jauh karena kita sudah terlalu sering bersama, rasanya nggak akan mungkin kita pacaran. Dan menyimpan rasa ini yang cukup lama ini begitu menyakitkan benar-benar menyakitkan.
Selang beberapa menit akupun sampai di villa. Raisa menyambutku dengan khawatir.
“Kakimu itu kenapa? Kenapa bisa seperti itu?”
“Aduh, ceritanya panjang deh. Sekarang kamu ambilin air panas ya biar aku kompres kakinya Nadia.” Jawab Dion, dan kali ini jantungku lebih berdebar lagi. Rasanya langit ikut merasakan kebahagianku. Dion membaringkan tubuhku di sofa. Lagi-lagi mata itu menatapku lebih lama dari biasanya. Dan itu yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa.
“Maaf Dion aku sudah merepotkanmu.”
“Sudahlah nggak papa kok. Kita kan teman.” Jawab Dion. Batinku terisak, bukan Dion, bukan teman yang kuinginkan. Lebih dari sekedar itu.
“Yaudah aku kompres kakimu dulu ya. Kamu diem aja jangan bergerak” Saat itu Dion kenapa bersikap dewasa sekali tak seperti biasanya. Oh Tuhan. Lagi-lagi aku terlelap dengan tatapan dan senyuman itu. Dionpun mengompres kakiku yang bengkak.
“Udah nih, kamu istirahat aja ya. Aku tinggal. Kamu jagain ya Rais.” Kata Dion sambil berlalu membawa baskom air hangat.
****
Kini malampun menjelma. Masih dengan kaki dibalut perban dan sedikit jalan pincang mungkin akan menjadi pengganjal liburanku. Tiba-tiba ponselku berdering. Satu pesan masuk dan aku begitu terkejut kala melihat siapa pengirim sms itu. Dion. Tumben sekali Dion mengirimkan pesan kepadaku.
From : Dion
Lain kali hati-hati ya cantik.. :P
Akupun berulang-ulang membaca pesan itu, tidak seperti biasanya. Dion yang super ngeselin dan bawel. Aku pun membalas pesannya.
To   : Dion
Pasti Dion, makasih ya buat hari ini J
Akupun menghabiskan malam itu di kamar. Entah mengapa rasanya batinku semakin berteriak bahwa aku benar menyukai Dion.
****
Dua minggu berlalu menghabiskan liburan bersama mereka, rasanya capek, bahagia, seneng campur jadi satu. Dan hari ini pertama kali untuk masuk sekolah. Tapi selama itu pula Dion tak pernah mengirimkan pesan lagi, hubungan pertemanku dengannya juga semakin jauh. Atau mungkin ini hanya perasaanku saja. Ya mungkin ini perasaanku saja. Tapi mengapa Arga menjadi semakin dekat denganku. Apakah ini wajar?  Tiba-tiba ponselku berdering, dan betapa senangnya aku. Langsung saja aku buka.

From : Arga
Seindah senyummu hari ini, menjadi penyemangatku mengawali hari J
Hah, mengapa Arga mengirimkan pesan seperti ini. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua. Semenjak Dion tak ada kabar, mengapa Arga yang sekarang jadi serba ingin tahu tentangku. Akupun membalas pesan Arga.
To   : Arga
Terimakasih atas pujianmu.. J
Entahlah, di sekolahpun Dion tak terlihat hari ini. Mungkin dia sakit.  Dan benar firasatku, biasanya kalo lagi istirahat begini aku dan teman-teman pasti ngumpul di kantin. Dan ini hanya 3 anak saja. Sepi tanpa Dion, karena ya hanya Dion yang bisa membuat suasana jadi rame. Akupun beranikan mengirimkan pesan kepadanya.
To   : Dion
Apa kabar Dion? Kamu kenapa nggak masuk sekolah?
Lima, sepuluh, lima belas menit tak ada balasan. Hingga bel pulang sekolah pun masih tak ada jawaban. Kamu ada apa Dion? Kenapa di saat aku merasa dekat denganmu, kamu malah tak ada. Apa yang terjadi? Sekali lagi batinku menangis. Tiba di rumah akupun langsung menuju kamar dan menenggelamkan kepalaku di anatara bantal, tak terasa air mata mulai menetes. Kenapa harus ada air mata? Kenapa kamu memberi harapan kepadaku Yon? Teriakku dalam hati. Aku pun bangkit dan meraih ponselku, dan lagi-lagi tak ada pesan dari Dion. Kamu kemana? Aku rindu kamu.
Tak berapa lama, ponselku berdering. Tapi bukan Dion, melainkan Arga.
From : Arga
Sedang apa malam ini ? Kala bintang dan bulan tersenyum menyaksikanmu.
Akupun membalas pesan Arga.
To   : Arga
Lagi suntuk. Udah ya mau tidur.
Ya, aku memutuskan untuk tidur. Mencoba melupakan Dion dan hari indah bersamanya.
Keesokan harinya. Saat ku buka ponsel. Ada satu pesan masuk, dan itu dari Dion. Oh Tuhan, kenapa aku harus tertidur tadi malam. Akupun buru-buru membacanya.
From: Dion
Maaf Nad, mungkin mulai saat ini aku tak lagi bisa bersamamu dan teman-temanmu Karena orangtuaku memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan menetap di sana. Rasa kehilangan pasti ada, dan aku minta maaf sengaja tidak memberitahumu. Tapi aku sudah memberitahu Arga dan Raisa tentang kepindahanku. Aku hanya tak ingin membuatmu terluka dan menangis dihadapanku. Karena aku tahu kamu menyimpan rasa untukku, ketahuilah akupun juga begitu. Aku tak bisa membohongi tatapan kala itu. Aku mencintaimu kemarin, hari ini dan selamanya. Selamat tinggal.
Sekali lagi aku menyakinkan isi pesan itu. Dan dengan sekuat hatiku akupun membalas pesan Dion. Dan menahan air mata yang jatuh perlahan di kedua pipiku.
To   : Dion
Aku kecewa sama kamu.
Tapi mulai saat itu juga Dion tak lagi membalas pesan-pesanku. Aku terisak. Rasanya aku tak bisa dipermainkan seperti ini. Apa arti tatapan kala itu kalau pada akhirnya Dion meninggalkanku. Mengapa sama sekali tak ada kabar tentang dia?
Dua bulan setelah kepindahan Dion, aku mulai menyesuaikan keadaanku. Aku harus move on. Mungkin ada benarnya Dion bukan tercipta untukku. Aku harus menyadari itu. Aku masih punya keluarga dan dua sahabat yang setia menemani keluh kesahku.
Aku harus tetap menjadi Nadia yang dulu, Nadia yang selalu menanyakan kabar Dion. Entah itu Dion membacanya atau bahkan langsung menghapusnya. Pagi itu dunia seakan ikut berkabung melihatku tak setegar dulu. Ya, mungkin aku harus melupakan Dion. Karena saat ini telah ada Arga di sampingku. Rasa yang ada 2 tahun terakhir ini harus aku kubur dalam-dalam dan mencoba membuka lembar baru bersama Arga.
“Pulang sekolah makan bareng yuk, Sayang.” Kata Arga di mendung sore kala itu.
“It’s okay, ku tunggu di parkiran sekolah ya.” Jawabku sambil mengiyakan ajakan Arga.
Dan saat itu pula aku menyadari bahwa tak semua yang kumau harus kumiliki. Aku harus bisa belajar menerima dan harus mau menerima setiap jalan yang telah digariskan Tuhan untukku. Setidaknya dengan begini aku akan menemukan sahabat dan duniaku sendiri. Tanpa harus aku menunggu sesuatu yang tidak pasti. Argapun bisa membahagiakan aku dengan kesederhanaannya. Dan Dion? Dion telah bahagia dengan kekasih barunya di Surabaya. Itupun aku tahu dari Raisa. Dan baru kusadari juga, dua minggu terindah itu kini menjelma bak hujan di kemarau panjang yang sejenak memberi kedamaian di hati dan ketenangan di jiwa yang mengukir cerita terindah yang harus bisa kulupakan.
Tuhan
Sekarang aku mengerti
Terkadang waktu mengizinkan seseorang untuk bertemu
Meski pada akhirnya harus berpisah
Terkadang aku harus bisa menerima dan memahami
Atas apa yang Engkau kehendaki
Terimakasih untuk dua minggu yang Kau beri..