Senin, 27 Oktober 2014

Lu’lu’ul Walidain


    
           (Mutiara orang tua)

Hujan semalam begitu memberi berkah bagi banyak orang. Pasalnya sudah sekitar 3bulan  ini hujan tidak kembali turun. Pagi itu udara berhembus sangat segar. Memberi hidup bagi tanaman-tanaman yang layu. Di sebuah rumah sederhana yang bercat putih dan cream dengan sebuah taman yang indah di depan rumahnya. Di seklilingnya tampak beberapa tanaman yang rindang menghiasi. Di bawah pohon itu tergeletak sebuah motor tua yang tampaknya sedikit usang.
“Umi, mana sepatu Zia? Sudah siang Umi..” teriak seorang gadis yang usianya sekitar 9 tahun.
“Ini sayang, maaf Umi masih menyiapkan sarapanmu di dapur. Ayo sekarang lekas sarapan nanti biar abi yang mengantarkanmu ke sekolah.” Jawabnya dengan lembut di balas dengan sang anak yang bergegas menuju dapur, di sana seorang pria yang tak lain ayahnya sudah menunggu di meja makan.
“Berdo’a dulu sayang, biar makanmu barokah.” Kata sang abi dengan lembut.
“Iya abi.”
Selang beberapa menit setelah mereka selesai sarapan, sang abi segera berlalu dan memanaskan motor tua yang sedari tadi sudah terparkir di bawah pohon akasia.
“Umi, Zia berangkat sekolah dulu ya. Assalamualaikum”  Kata Zia sambil menjabat dan mencium tangan sang Umi.
“Iya, hati-hati nak. Wassalamualaikum.” Jawabnya.
Di sepanjang perjalanan, udara memberi kesan yang berbeda pada hari itu. suasana terasa hening. Tak ada yang di ucapkan di keduanya. Mungkin keduanya tengah menikmati terpaan angin pagi yang memberi salam kepadanya. Hingga pada akhirnya keluarlah ucapan dari sang abi.
“Hari ini, kamu terakhir masuk di sekolah ini ya Nak. Mulai minggu depan kamu sudah pindah di Pondok Darussalam Surakarta.” Kata sang abi.
“Iya Abi, nggak papa. Aku menikmatinya kok.” Jawab Zia dengan senang hati.
Tak beberapa lama keduanya sampai di sebuah Sekolah Dasar. Keduanya di sambut oleh guru yang biasa mengajar Zia.
“Ayo Zia segera masuk, teman-teman yang lain sudah masuk.” Kata Bu Ratna.
“Iya Bu, sebentar.” Jawab Zia, kemudian berjalan ke arah abinya dan menjabat tangan beliau.
Hari itu Zia nampak murung. Mungkin karena beban pikirannya yang harus meninggalkan teman-temannya di SD Cempaka 1 ini. Mungkin dia merasakan kehilangan yang teramat dalam ketika harus meninggalkan mereka. Tapi Zia juga tak bisa menceritakan hal ini kepada siapapun. Dia takut membuat kecewa teman-temannya. Mungkin inilah sebuah persahabatan sejati tengah di pertanyakan. Saat istirahat tiba, Zia yang biasanya ceria hanya murung dan menghabiskan istirahatnya di kelas. Biasanya Zia bersama teman-temannya menghabiskan waktu istirahatnya di kantin atau di taman bermain.
“Zia, kamu ndak ke kantin bersama teman-teman?” Kata Inda teman sebangku Zia.
“Tidak In, aku sedang tidak enak badan.” Jawabnya lesu.
“Memang kamu sakit ya?”
“Tidak, hari ini hari terakhir aku sekolah di sini. Mulai minggu depan aku sudah tidak lagi di sini. Sama abi aku di suruh mondok di dekat rumah eyang di Surakarta.”
“Benarkah? Pasti kita akan kehilangan kamu ya.”
“Sudahlah, nggak papa kok.”
Sangat sulit ia lalui masa-masa tersulit dalam hidupnya. Bagaimana mungkin orangtuanya tega melepaskan anak semata wayang mereka untuk pergi jauh demi meneruskan pendidikannya. Mungkin bagi orangtuanya inilah yang terbaik baginya. Dan sebagai seorang anak, Zia harus tetap menurut dengan apapun yang telah di gariskan oleh kedua orangtuanya. Mungkin didikan orang tua sejak kecil membuat Zia mengerti sekali bagaimana caranya berbakti kepada mereka. orang tua mana yang tak bangga dengan titipan Allah seperti Zia. Gadis manis, cantik, sholehah dan cerdas.
Sampainya di rumah seusai sholah dzuhur, umi menemukan Zia tengah duduk di teras depan rumah. Entahlah apa yang sedang di pikirkan oleh bintang kecilnya ini. Mungkin pikiran sang anak tengah kalut karena harus meninggalkan rumah untuk mendapatkan pendidikannya.
“Zia kenapa di sini? Boleh umi menemani?” kata umi lembut.
“Umi, kenapa Zia harus pindah ke pondok? Apa Zia bandel sampai-sampai Zia tidak boleh tinggal sama Umi dan abi.” Kata Zia polos.
“Tidak Nak, jangan punya pikiran seperti itu. Umi melakukan ini karena ini yang terbaik buatmu. Umi dan Abi menyayangimu.” Jawab umi sambil mendekap sang anak di anatar jilbab yang terurai lepas di mahkota indahnya.
Seminggu berlalu, hingga waktunya Zia harus meninggalkan rumah.  Ketika subuh menjelma, umi sudah menyiapkan semua kebutuhan Zia selama di pondok. Mungkin hari itu adalah hari terakhir bagi Zia di rumah. Sang abi sudah memanaskan montor.
“Zia, nanti kita ke stasiun. Jadi sekarang harus siap-siap.” Kata abi
“Baik abi, ini tinggal memakai kerudung saja.” Jawabnya
Hati Zia semakin tak karuan ketika harus meninggalkan rumah. Ada kegetiran dalam jiwanya, rasanya dia masih terlalu dini untuk tinggal di pondok. Masih pagi buta kala itu ketika Zia meninggalkanrumahnya.
“Zia, di sana nurut ya sama pengasuh di sana. Jangan nakal dan bandel. Ini uang 300 ribu untuk satu bulan.  Nanti sebulan sekali umi dan abi akan datang ke sana.”
“Iya umi, Zia ngerti.”
Tak lama kemudiaan mereka sampai di stasiun. Kurang 10 menit lagi kereta akan datang. Tapi hati Zia semakin tak menentu. Dia hanya bisa menahan tangisnya agar sang umi dan abi tidak khawatir kepadanya.
Setelah bunyi bel kereta api dinyalakan semua penumpang berhamburan memasuki gerbong kereta api. Semuanya berjubel dan berdesak-desakan. Begitupun yang terjadi dengan Zia dan Abi. Tak selang berapa lama setelah mereka duduk, tiba-tiba seorang nenek tua mengahampiri mereka dan menengadahkan tangannya. Sontak Zia langsung merogoh uang di sakunya dan memberikan 3 lembar uang seratus ribuan. Sang abi tersontak kaget. Setelah sang nenek itu pergi, sang abi mulai menanyakannya.
“Mengapa Zia kasihkan semuanya? “ kata abi.
“Kalau nenek itu ikhlas menerima yang sedikit, Zia juga ikhlas memberi yang banyak.” Jawabnya polos. Dan jawaban itu membuat abinya semakin tegang.
“Tapi bagaiamana dengan uang jajan kamu di pondok nanti?” kata abi.
“Zia masih punya abi dan umi, sedangkan nenek itu, siapa tahu dia sebatang kara. Jika abi menganggap Zia titipan Allah. Maka abi dan umi tidak akan membiarkan Zia kelaparan kan?” jawabnya dengan nada bercanda namun berwibawa.
Sungguh anugerah yang luar biasa memiliki amanah seperti Zia. Selang 2 jam dari itu, mereka sampai pula di Surakarta dan melanjutkan naik ojek menuju ke pondok Darussalam. Setelah mengurus semua administasi pendaftaran, Zia langsung di perbolehkan masuk ke kelas. Dan abinya menunggu di rumah eyang yang kebetulan tidak jauh dari Pondok.
“Perkenalkan, nama saya Fauzia Nafisa. Bisa di panggil Zia. Senang bertemu dengan teman-teman baru.” Kata Zia saat memperkenalkan diri di hadapan santri-santri itu.
Hari demi hari dijalani Zia dengan ceria dan sepertia biasa tanpa ada beban. Sekali-kali memang ada rasa kerinduan yang mendalam untuk kedua orangtuanya, terlebih ketika mengingat rasa masakan umi yang tiada duanya. Ingin rasanya diantar dan dijemput abi seperti biasa. Namun, mulai saat itu juga dia harus bisa mandiri. Dia ingin menjadi seperti abi yang bisa menghafal Al-Qur’an dan ia ingin seperti umi yang pengetahuan agama Islamnya luas serta memiliki suara emas saat membaca Al-Qur’an. Zia harus bisa menyesuaikan diri di pondok. Tapi tidak sulit, karena Zia sudah terbiasa dengan bangun pagi, banyak kegiatan, banyak tugas yang harus dijalankan.
Kadang jiwanya resah saat harus mengingat teman-temannya di SD Cempaka 1, di saat Zia dan teman-temannya mengukir asa dan cita bersama. Namun Zia cepat menyadari kini asa dan citanya semakin nyata di tempat ini. Di tempat dimana kini Zia sudah bisa tumbuh menjadi bintang kecil yang ceria, mandiri dan sholehah. Persis sama yang di impikan oleh kedua orangtunya.
Setahun di pondok, sudah membuat Zia hafal 5 juzz dalam al-Quran. Sebuah prestasi yang membanggakan. Selain itu, Zia juga sering diminta untuk menjadi Qori’ saat ada acara-acara pondok ataupun saat lomba. Hal itulah yang membuat kedua orangtuanya menjadi bangga kepadanya. Terkadang mutiara tak selamanya bisa di simpan, apalagi jika mutiara itu seorang wanita. Dia akan lebih bersinar dan bercahaya jika hatinya selalu terkait oleh Sang Pencipta-Nya. Begitu juga dengan Zia, kini harapannya menjadi seperti abi dan uminya tinggal segenggaman.
Tahun demi tahun berlalu tanpa terasa, ketika gadis kecil yang dulu selalu bermain di taman tengah pondok kini tinggalah seorang gadis dengan tinggi semapai, dua lesung di pipinya dan sebuah gamis serta jilbab yang terurai lembut menutupi tubuhnya. Dialah Fauzia Nafisa.
Ia kabarkan salam rindunya untuk sang abi dan umi yang mungkin juga merindukannya lewat semilir angin yang setiap hari tanpa henti menemani dan menjadi sahabat abadinya. Seperti saat malam-malam di ujung penantian tanpa kabar hingga pada akhirnya membuat Zia harus bisa berpikir dewasa dan mempercayai semua tentang cinta kedua orangtuanya yang tak pernah ada ujungnya.
*****

Gerimis Hati Arini




Sempat kutuliskan rindu pada lubuk hatiku
Namun awan menghapusnya di langit biru
Pernah kugoreskan kangen diantara senja
Tapi waktu menghapusnya dalam semu
Apa kabar calon imam surgaku?
Hanya lewat semilir angin ku sampaikan
Rinduku yang tak kan berujung....

            Di sini, di tanah surga ini kusandarkan pengharapanku kepada alam yang setia menemani setiap jengkal langkahku. Kepada ilalang-ilalang yang terhampar luas bak permadani. Kepada pucuk hijau bumi-Mu Ya Rabb kupasrahkan segalanya tentang cinta. Namaku Arini, gadis muda penuh pesona. Telah lama kutepis perasaan yang setahun terakhir ini selalu menghantuiku. Aku merasa ada hal berbeda yang kujalani saat tak bersama dirinya. Dirinya yang dulu selalu berjalan beriringan denganku kini tengah menyelesaikan S2 nya di tanah Mesir. Namanya Al Fahmi Zidna, pria yang sudah 4 tahun ini mengisi hari sepiku. Sakit rasanya ketika harus mengantar kepergiannya, memang tak bisa ku sangkal, ini semua untuk masa depan dan mimpinya. Aku tetap mendukungnya, meski hatiku sendiri terasa teriris ketika melihatnya berjalan semakin jauh dariku.
“ Hai Arini, manisku. Jangan sedih, hanya 4 tahun aku di sana, waktuku masih lebih banyak untukmu ketika aku kembali. Jaga dirimu baik-baik.” Kata terakhir yang Fahmi ucapkan saat ku antarkan ke bandara setahun yang lalu. Masih melekat di ingatanku ketika dia tersenyum manis lalu bergegas menuju pesawat. Aku tak menyalahkan dia, aku pun tak menyalahkan waktu yang coba merenggut bahagiaku dan bahagianya. Aku hanya belum bisa menerima keadaan yang memaksaku berjalan sendiri, terasa berat. Hari ini, Fahmi tepat berulang tahun yang ke 23. Setahun yang lalu, kita berdiri di hamparan ilalang ini. Menatap langit dan menuliskan mimpi kita di sana. Tapi, untuk yang pertama kalinya aku harus merelakan merayakan ulang tahunnya sendiri. Hanya sebuah pesan singkat kukirimkan kepadanya. Dan dia hanya membalas ala kadarnya. Mungkin aku tengah berada pada zona ketidak nyamananku, dimana aku memaksa dia untuk hadir di sini, tertawa bersama, makan bersama dan menikmati musim cinta terindah bersamanya. Sungguh aku merindukanmu, Fahmi.
Sebuah pandangan penuh haru yang masih saja menyimpan asa. Rasaku masih tetap sama dan tetap tersisa diantara kita, aku tetap menunggumu meski kamu tak ada di kenyataanku. Aku hanya bisa terdiam ketika hanya bisa memelukmu dari jauh, hanya mengenang kebersamaan kita, dan begitu melambung tinggi asaku ketika kamu janjikan kita kan hadapi segalanya bersama. Tapi kini jalanmu dan jalanku berbeda. Hanya kelebat bayangmu yang mengisi setiap sudut ruang hatiku.
“Bukan hubungan kita yang berubah arah, hanya saja waktu belum mengijinkan kita untuk bersama dulu. Bersabarlah.” Sebuah pesan singkat yang lagi-lagi kuterima dari Fahmi. Mungkin hanya pesan-pesan ini pengobat rinduku untuknya tatkala kamu jauh. Teman-temanku hanya sesekali datang lalu pergi, sepi ketika harus melakukan segala sesuatu sendiri. Biasanya kamu yang selalu mengingatkanku untuk tetap kuat menghadpi segala kemungkinan yang akan terjadi, namun semenjak kepergianmu hanya sebuah pesan singkat sebagai penggantimu. Aku tak bisa mengingkari hatiku, aku masih mengakui keberadaanmu meski sesekali aku merasa lelah dan jenuh untuk menunggumu. Tangisku tak lagi berarti, hanya sebuah simpul senyum kecil yang tersisa.
“Sebuah kata tak mampu mengungkapkan perasaanku saat ini, hanya saja mereka dapat mewakilinya. Aku masih di sini sampai kamu kembali.” Setelah ku baca berulang-ulang pesan yang kutuliskan untuknya, akhirnya aku beranikan untuk mengirimkan balasan kepadanya. Tapi kenapa hatiku ragu, ataukan disini sebuah kekuatan cinta tengah dipertanyakan? Ah, segera ku buang perasaan yang tengah mengusikku. Segera ku bergegas menyusuri tempat yang biasa aku menghabiskan waktuku bersama Fahmi ketika dia di sini. Aku masih tak percaya ketika dia tak lagi di sini, aku lebih sering menghabiskan sebagian besar waktuku di tempat ini hanya untuk sekedar mengenangnya, mengingat tawa lepasnya, dan senyum manisnya. Lagi-lagi kelebat bayangnya terasa ada di sampingku. Mungkin kerinduanku padanya teramat besar hingga aku berhalusinasi tentangnya. Waktu mulai berimpit lurus, namun aku masih tak berutik sedikitpun. Masih ada celah dalam gelap yang tersisa untuk sekedar melampiaskan kerinduanku kepada Fahmi. Mungkin rasa ini juga yang kini tengah menggelayut pada diri Fahmi. Aku mengerti waktu tak akan mengulang hari kemarin, tapi seandainya waktu bisa berputar kembali akan ku minta waktu dimana aku dan dia saling tertawa bersama, dan inginku lambatkan jalannya waktu agar aku lebih lama bersamanya. Inilah ketakutanku ketika harus kehilangannya dan merasa begitu nyaman hanya ketika sebuah namanya terdengar diucapkan. Entah sebuah kekuatan cinta atau justru cinta yang akan menguatkan kita dan menjaga kita saat kita berlinang air mata. Mungkin kali ini dia harus bisa menjadi malikat untuk beberapa saat hanya untuk menghapus lukaku, membuatku kembali seperti sediakala.
“Mungkin saat ini ragaku memang tak berada di sampingmu, jiwaku pun tak sepenuhnya ada untukmu, tapi aku tak pernah henti berdo’a agar seusai pulangku nanti kita bisa merangkai mimpi kita bersama lagi, seperti dulu. Kita hanya butuh waktu yang lebih lama dari biasanya, hanya butuh sebuah kesabaran untuk tetap bertahan. Jangan pernah ragu, aku tak pernah meninggalkanmu Arini.” Kembali sebuah pesan singkat kuterima dari Fahmi, yang kenyataanya membuat dadaku semakin sesak dan kembali meneteskan air mata. Aku mencintaimu entah ragamu di sini atau hanya kelebat bayangmu yang setia menemaniku Fahmi.

Apa Kabar Sakaku?



Tak seperti biasa, mendung kali ini begitu pekat. Tapi masih sama, membawa cerita yang tak bermakna. Malas rasanya menghabiskan sisa-sisa pulang sekolah masih tetap berada di sekolah. Memang awalnya bukan pilihanku disini. Tapi apa boleh buat, terkadang apa yang kupikirkan harus kutepis terlebih dahulu dari apa yang dipikirkan oleh orang lain tentang yang kupikir. Jam tanganku menunjukkan pukul 4 sore lewat 15 menit. Tapi gerimispun tak kunjung usai.
            Setiap tetes gerimis itupun membawa cerita baru yang sulit terkisahkan. Kadang aku mencoba menebak cerita apa yang dibawakan oleh sang bayu dari Sang Maha Kuasa, namun naluriku sebagai wanita memang sangat sulit dihadapkan pada dilema seperti ini. Hatiku sering berkecamuk sendiri tanpa jelas arahnya kemana. Seperti hari-hari ini. Hari-hariku sepi, tak ada lagi semangat itu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi.
            Ya, dia ! Sosok bertubuh tinggi semampai, berparas maskulin dan tahi lalat dipipinya yang nggak akan pernah bisa membuatku lupa dengan segala hal dan kenangan yang pernah kulalui bersamanya. Memang benar masa lalu adalah kenangan dan masa kini adalah kenyataan. Tapi apakah aku salah jika aku masih mengharapkan? Masih menunggunya meski aku sendiri tahu dia tak lagi menungguku. Masih tetap menjadi Nadia yang dulu. Nadia yang tetap mencintai dan mencintai Saka tanpa kenal apa itu cinta sendiri.
            Masih kuingat betul ketika tiga tahun yang lalu kutemui dia di Sekolah Menengah Pertamaku. Dia yang jarang bicara dan tersenyum hanya menoleh saat kulihat ataupun saat teman-temannya memojokkan dia ketika aku melintas didepannya. Dia begitu apa adanya dengan gayanya yang dingin dan sok nggak peduli. Tapi hal itu yang membuat banyak orang menyukainya. Memang dia terlihat acak-acakkan, bahkan bisa dikatakan tak pernah berdandan, tapi sekali lagi aku katakan dia apa adanya.
            Dulu aku belum mengerti apa itu cinta, apa itu sayang. Meski teman-teman sebayaku sering menyebut kata-kata itu dan apalagi ditambah dengan tontonan sinetron yang sering mereka lihat, merekaa berkali-kali mengungkit kata itu. Tapi aku belum juga memahami. Aku hanya merasa nyaman berada di dekat Saka. Meski berjam-jam kita duduk berdua tak ada sepatah kata yang terucap. Mungkin karena dia masih merasa canggung.
            Lima Januari 2011, setelah selesai rapat osis. Via, yang tak lain sahabat Saka mengagetkanku dari belakang. Mereka selalu kompak dalam segala hal, dan terkadang aku merasa cemburu gila dibuatnya. Meski aku sendiri pun belum tahu jelas cemburu itu seperti apa. Aku hanya merasa dada ini semakin sesak tatkala melihat mereka berangkat atau pulang sekolah berdua, atau hanya sekedar makan di kantin berdua. Mereka memang sekelas.
“Dapat salam loh dari Saka, katanya salam sayang buat Nadia. Hahaha..” kata Via sambil menepuk bahuku.
“Hah? Masak iya, salam balik deh.” Imbuhku menimpalinya. Akupun sempat tak percaya dengan yang dikatakan Via, karena Via sendiri memang doyan bercanda. Hingga sepulang dari itu kutanyakan langsung ke Saka lewat SMS. Dan ternyata yang dikatakan Via memang benar. Aku masih belum mengerti rasa apa ini.
            Tujuh Belas Januari 2011, dia menemuiku dikoridor sekolah. Wajahnya berseri-seri seperti ada kebahagiaan yang ia sembunyikan. Dia berlari kearahkau. Akupun menymbutnya. Dia tak seperti biasa, dia banyak senyum hari itu.
“Nad, ada yang mau aku bicarakan denganmu.” Kata Saka serius.
“Oh ya? Memang ada apa Sak?” jawabku polos.
“Aku tahu ini terlalu mendadak, tapi aku juga nggak bisa menahannya lebih lama lagi.”
“Memang Saka mau bicara apa?” hatiku semakin tak menentu.
“Aku suka kamu Nad, kamu berbeda.”
“Hahaha, kamu suka aku? Apa aku nggak salah dengar?” kataku mencoba meyakinkan lagi pendengaranku.
“Nggak Nad, ini datangnya dari sini. Iya dari hati ini. Aku nggak bisa bohong.”
“Iya aku mengerti Saka, tapi mengertilah juga kita masih kelas 2 SMP. Dan aku nggak mau merusak masa depan kita masing-masing. Aku juga menyukaimu. Tapi terlebih itu, kita hanya berteman. Aku tak ingin ada istilah pacaran.” Jawabku kepadanya.
“Iya aku mengerti, setidaknya hari ini adalah hari pertama kita. Meskipun kita tak pacaran.”
“Baiklah, mungkin itu juga baik. Ayo kita pulang.”
Sepanjang perjalanan, rasanya jam berputar pelan sekali. Yang biasanya 30 menit baru sampai rumah, kali ini 10 menit udah sampai dirumah. Mungkin karena diantar Saka pulang jadi waktu selama apapun tetap terasa cepat. Hari yang indah.
            Hari demi hari berjalan indah dan manis. Kita main-main ketmpat yang indah. Mengerjakan tugas bersama. Apapun kita lakukan bersama. Rasanya tanpa beban. Bulan pertama masih indah, melalui hari-hari di sekolah bersama. Bulan kedua dan ketigapun juga masih indah. Menginjak bulan keempat dimulai berubah. Dia menjadi sosok yang menjengkelkan. Tak pernah ada disetiap aku butuhin. Dia melupakan hari jadi kita dan hari ulang tahunku. Memang awalnya aku yangmemintanya untuk tak pacaran, namun seiring berjalannya waktu aku semakin takut kehilangannya.
            Oh Tuhan, mungkinkah ini cinta? Tapi terlalu cepat untukku merasakan nikmat-Mu yang sunguh luar biasa ini. Aku pasti menjaganya Tuhan, begitupun dia. Sama seperti janjiku kepada-Mu Tuhan.
            Dua puluh dua April 2011, hari ini adalah hari jadiku Tuhan. Tapi seolah dia melupakan hari ini. Bahkan dia tak mengingatnya sekalipun aku memberitahunya. Aku hanya diam. Hanya merayakan bersama teman-teman. Dia tak ada disini. Tapi aku tetap pada pendirianku, dia adalah sebagian dari semangat hidupku. Dia taka kan pernah terganti meskipun dia melupakan smeua hari indah kita. Dia tetap menjadi sosok yang indah buat aku. Selalu ceria bahkan saat-saat sulit sekalipun. Dia adalah tempat kuluapkan semua emosiku. Tempatku menyandarkan satu bahuku ketika aku kehilangan asa. Tempatku menguatkan hati yang kadang menghimpit.
            Tujuh belas Juli 2011 hari dimana aku menyiapkan segala hal untuk sekedar mengucapkan “Happy Annyversary for us”. Tapi dia pun tak menganggapnya.
“Happy Anniversary for you..” ucap seseorang dari belakangku. Aku berharap-harap cemas, pasti itu Saka. Dia tak akan melupakan semua tentang kita. Aku pun menoleh. Dan ternyata itu bukan Saka. Yang mengucapkan hanyalah teman-temanku. Saka, kamu diimana? Rintihku dalam hati. “Oh iya, terimakasih Ta.” Jawabku singkat hanya dengan senyum kecil. Hari itu sekolah sepi, itu yang kurasakan tanpa dia. Ternyata hari Saka tidak masuk sekolah. Ku coba menghubunginya berkali-kali tetap tidak bisa.
            Sebulan masih tanpa kabar Saka. Enam bulan terindah. Hanya inikah Tuhan? Tidak. Aku telah berjanji menjaganya. Menjadi pelengkap sekaligus pelindungnya. Tapi mengapa aku tak menemui dia. Mengapa dia terus menghindariku. Apakah ada yang salah denganku? Akupun terus memendam perasaan kecewaku kepadanya. Dia benar-benar lupa.
            Mungkin akan ada benarnya sebuah janji tak perlu ditepati. Tapi hati belum mampu meningglkan sosoknya yang kalem dan berwibawa.
            Tujuh belas Januari 2012 masih ingat seharusnya aku merayakan hari jadiku yang pertama bersamanya. Ya, ditempat yang sama dengan suasana yang sama pula aku menunggunya. Setelah enam bulan tanpa kabar jelas tentangnya. Alunan musik melow menambah kegalauanku saat itu. Tiba-tiba sosok bertubuh tinggi berdiri dihadapanku. Akupun mendongakkan kepalaku ke atas. Dan itu Saka. Iya Saka menepati janjinya. Dia kembali.
“Saka?” kataku setengah tak percaya.
“Iya, maaf aku membuatmu menunggu terlalu lama.” Jawabnya sambil duduk di sebelahku.
“Tak apa, lupakan saja.” Ucapku, meski sebenarnya sulit melupakan itu.
“Kamu sedang apa di sini?” katanya polos. Dan jleeebb.. rasanya hatiku tertusuk ribuan jarum. Masihkah dia menanyakan hal itu? Apakah dia benar-benar lupa tempat ini dan hari ini?
“Nggak papa, aku hanya ingin duduk saja disini.” Jawabku mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya air mataku sudah akan menetes tapi tetap saja kucoba tahan agar dia tak jga merasakan kepedihanku.
            Sejak saat itu kembalilah dia untukku. Dia menjadi Saka yang dulu, selalu ceria bahkan konyol. Setahun berlalu dengannya. Hingga di penghujung 2012 dia masih bersamaku. Melewati segala kenangan dengan indah dan tawa. Dia begitu asyik dan menenangkan. Tak salah jika aku merasa nyaman berada disampingnya. Dialah penjaga hatiku yang akan bersamaaku mengarungi cinta bersamaa pada saat nantinya dan pada saat waktu yang tepat pula.
            Namun, mengapa tak bertahan lama? Hanya setelah anniversary kedua dia tak lagi ada kabar. Mungkinkah dia menjauhiku sama seperti dulu?
“Nad, ada kabar baru buat kamu.” Kata Via teman dekat Saka.
“Tentang apa?” kataku
“Saka.”
“Ada apa dengan Saka? Aku sudah tak bersamanya.”
“Iya karena itu. Dia sekarang sudah jadian sama Novi teman kita.”
“Hah, apa katamu? Benarkah?” ungkapku sedikit tak percaya. Rasanya hatiku teriris lebih dari ribuan pisau menyayat hatiku.
Secepat itukah dia melupakanku? Kataku dalam hati. Akupun tak berani menanyakan kebenaran itu kepadanya. Semuanya kuserahkan kepada-Mu Tuhan.
            Saat di kantin aku bertemu dengannya. Tak ada lagi senyuman yang biasa ia berikan. Yang ada hanya hening. Dia menatapku seolah ad yang ingin dia katakan. Tapi entahlah. Mengpa sedemikian rumit tentang hubungan kita. Sudahkah tak ada ruang untukku di hatimu? Aku mencintaimu Saka, jauh lebih dulu dari pada Novi. Mengapa harus dia yang berada di dekatmu sekarang. Kepada siapa aku luapkan emosi ini. Tak ada lagi tempat sandaran itu.
            Juli 2012, saat semua kenangan di putih biru tak ada lagi. Ketika aku bersamanya memutuskan untuk melanjutkan sekolah yang berbeda. Entahlah apa yang ada dipikiranku. Mengapa begitu berat melupakannya. Atau mungkin cinta ini terlalu besar buatnya?
            September 2012....
“Happy birthday for you.” Satu pesan kukirimkan kenomor yang tak lain adalah nomor Saka.
Namun sekali lagi aku harus lebih kuat untuk menyeka air mata yang tak kunjung habis.
Melupakan. Ya, aku harus lebih kuat dari padanya. Aku punya teman-teman baru di sini. Dan mungkin dia juga bahagia dengan teman-teman barunya. Meski kenyataannya hati ini terlalu pahit untuk merasakan ketidaknyamanan saat tanpa dia. Dia yang menghangatkan lebih dari yang aku mau. Sekali lagi, dia nggak pernah berubah.
            Sebulan aku tetap menunggunya. Meski sebenarnya sulit ketika harus menakui bahwa aku masih sangat membutuhkannya. Bahwa aku masih menunggunya, masih mengharapkan cintanya. Aku masih ingat betul ketika aku menemuinya di tempat biasa kita bertemu. Ketika aku dan dia makan kue yang sengaja aku bawakan buat dia.
“Makasih buat segalanya.” Katanya singkat.
“Iya, aku selalu sayang kamu Saka.” Jawabku penuh harap darinya.
Namun dia sama sekali tak membalas apa yang kukatakan sebelumnya. Apa ada yang salah ketika aku mulai menyukai seseorang. Apa ada yang salah dengan perasaan yang tiba-tiba berkecamuk di dadaku. Apa ada yang salah saat aku mulai merindukan seseorang yang kuanggap penting daam hidupku. “Saka.................” teriakku saat perjalanan pulang. Saat itu dia menggenggam erat tanganku seakan tak ingin kita berpisah.
            Aku terus menunggumu Saka. Tak tahu sampai kapan hati ini akan berujung. Entah pada akhirnya nanti aku mndapatkanmu atau tidak. Aku merindukan sosokmu yang dulu. Sangat merindukanmu. Tidak ingatkah kamu saat kita dulu tertaa bersama. Melalui hari-hari bersama.
            Kini, seharusnya kita merayakan hari jadi kita yang ketiga.

PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SEJARAH BANGSA


PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI SEJARAH BANGSA

Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca benggala dari pada masa yang akan datang.( Bung Karno, 1966.)
 

Sejarah telah banyak memberikan pelajaran dan pengamalan tentang pendidikan karakter. Dalam hal singkat saja mengenai kepemimpinan. Secara gamblang kepemimpinan merupakan suatu hal yang sudah sering terdengar oleh kita, bahkan terlihat dengan mata. Namun, terkadang dalam upaya kepemimpinan tersebut banyak hal yang didasari oleh keegoisan individu atau golongan sehingga tidak memberikan contoh teladan yang baik dan nyata. Pemberian pendidikan karakter ini bukanlah dari siapa-siapa melainkan dari pendidik sendiri, yakni guru. Pendidikan karakter tidak hanya bisa diajarkan dengan memberikan pengertian. Karena pada dasarnya, pendidikan karakter merupakan wujud nyata sebuah perilaku. Seperti yang kita tahu bersama, bahwa anak akan cenderung meniru apa yang kita lakukan dari pada mendengar apa yang kita ucapkan.

Sejarah adalah Guru Terbaik
Pada bulan Oktober ini ada momen penting yang tak bisa kita lupakan, yakni Sumpah Pemuda. Tepat 86 tahun silam, pemuda Indonesia menyeruakkan suaranya agar dapat menyatukan bangsa Indonesia. Pemuda saat itu adalah pemuda usia pelajar yang mana mereka memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, pemuda saat itu membuktikan bahwa tak ada sekat yang menghalangi Indonesia untuk bersatu. Mereka berjuang hingga titik darah penghabisan hanya untuk mengikrarkan 3 mantra, yakni :
Pertama, kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua, kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga, kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dari ketiga mantra tersebut dapat kita ambil bahwa pendidikan karakter pertama yakni nilai cinta tanah air. Sikap cinta tanah air adalah sikap di mana tak ada penghalang untuk menghargai keberagaman suku, ras, dan agama. Selalu menghargai pendapat orang lain karena menganggap bahwa berasal dari tanah yang sama, yakni tanah Indonesia. Contoh yanga ada dalam sekolah, adanya pelajaran Sejarah, PPKn, adanya gambar-gambar pahlawan di dinding kelas adalah sebagian kecil dari pendidikan nilai karakter. Pendidikan karakter yang kedua yakni, nilai sosial. Dengan mengaku berbangsa satu, maka kita telah menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri sendiri. Dengan kata lain, kita mencintai Indonesia atas dasar perbedaan yang beragam dengan menjadikannya sebuah alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia sendiri. Contoh dengan berorganisasi secara tidak langsung akan mengajarkan anak untuk menempatkan kepentingan bersama dan individu, selain itu agar melatih anak untuk dapat bersosialisasi sehingga anak dapat mengambil keputusan secara bijaksana. Pendidikan karakter yang ketiga yakni berkaitan dengan kemampuan anak untuk menjiwai atau merasa memiliki atas bangsa Indonesia. Seperti yang kita tahu bersama bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, bahasa nasional, ataupun bahasa resmi. Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki peran yang utama dalam dunia pendidikan. Pendidik harus bisa menyampaikan dengan bahasa yang baik dan benar. Baik dan benar bukan hanya masalah ejaan saja, melainkan efektifitas dari bahasa tersebut juga perlu diperhatikan. Tanpa disadari, penggunaan bahasa yang campur aduk dan berantakan terkadang mempengaruhi anak untuk menirunya. Contohnya terkadang saat ada presentasi tugas, anak cenderung menggunakan bahasa-bahasa yang nyleneh dalam menyampaikan materi.

Pendidik yang Mendidik
            Guru, dalam akronim jawa disebutkan bahwa digugu lan ditiru, sudah sepatutnya bahwa setiap perilaku, tindakan, perkataan, sikap seorang guru menjadi tauladan. Menjadi seorang guru bisa dibilang mudah, hal tersulit adalah memberikan pengamalan yang baik kepada anak didiknya. Seorang guru harus benar-benar bisa menyadari posisinya sebagi seorang guru agar setiap langkah atau hal yang dilakukan akan dapat berhati-hati agar tidak salah dalam mengambil langkah. Misalnya seorang kepala sekolah memberikan teladan yang baik bagi guru sejawatnya, begitu pula seorang guru memberi teladan yang baik kepada anak didiknya. Karena yang dibutuhkan seorang anak didik bukan hanya ilmu-ilmu sekolah saja, nilai karakter juga dibutuhkan untuk kesehariaannya bagaiamana ia bersikap dan mengahadapi lingkungannya.
Semua hal yang hanya kita bicarakan saja tak akan menjadi apa-apa, sedangkan setiap hal yang kita lakukan dapat kita lihat akan menjadi apa!


Senin, 20 Oktober 2014

Ekspedisi Kelud II





KEREN !
Setelah terjadinya erupsi Gunung Kelud, Kabupaten Kediri, Jawa Timur pada tanggal 14 Februari 2014, suasana Kelud banyak yang berubah dan nyaris semuanya rata dengan tanah.
 Erupsi yang tingginya mencapa 17 KM itu mampu meluluhlantahkan daerah kediri hingga sampai wilayah Jawa Barat. Imbasnya saat ini pemerintah Kabupaten Kediri harus bersiap lagi emmulai dari nol dalam upaya perbaikan kawasan wisata Gunung Kelud.
Selain itu,  erupsi yang terjadi bertepatan dengan Hari Valentine itu menenggelamkan kawah Gunung Kelud beserta pemandian air panas yang sebelumnya sebagai  tujuan wisata masyarakat Kediri dan sekitarnya.

Senin, 06 Oktober 2014

Aku, Kau, Mereka






Aku seperti kehilangan jati diriku. Berjalan menembus batas tanpa aku tahu arah mana yang akan ku lalui. Sesaat gelora dalam hatiku bertanya-tanya akan jadi apa bila aku masih tetap dalam pendirian yang tak menentu ini. Aku seperti tak berarah. Meraih sejengkal harapan ang kurasa itu semua hanyalah sebuah ilusi. Tapi kadang ada saatnya saat aku merasa bahwa aku harus bisa lebih dari apa yang ku bayangkan sebelumnya. Merangkai jutaan hari dalam guliran waktu yang mencoba untuk berhentikanku. Akankah semua akan berakhir semu seperti apa yang tengah aku bayangkan? aku hanya merasa bahwa dunia terlalu adil untuk aku dustai. Terlalu bermakna untuk sekarang aku tinggalkan. Menghitung hari demi sebuah kepastian yang nyata. Bergenggam hati untuk sebuah mimpi yang kelak akan terwujud meski rasanya akan sangat mustahil. Hnaya butuh sebuah ketelatenan dan sebuah perjuangan yang lebih dari pada biasanya.
Teman.
Adalah salah satu dari sekian juta orang yang memberi motifasi untuk tetap hadir dalam jengkal yang kurasa sulit dan rumit untuk kurajut.
Teman.
Adalah salah satu dari orang-orang yang akan memberi masukan atau dukungan yang akan membuatku menjadi lebih berwarna. Menghargai kerja keras dan proses yang kulewati.