BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak. Berbagai potensi dimiliki
oleh bangsa Indonesia. Ideologi pancasila menggambarkan bahwa Indonesia
merupakan negara kesatuan yang tidak terpisahkan dari Sabang sampai Merauke.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mendeskripsikan bahwa Indonesia merupakan negara
kaya dengan beragam suku bangsa, bahasa dan kebudayaan. Setiap wilayah di
Indonesia tentu memiliki keragaman dan ciri khas masing-masing.
Latar
belakang budaya yang berbeda, tentu akan memberikan pola pengasuhan yang
berbeda pula. Sama halnya dengan salah satu suku yang ada di Indonesia, yakni
Suku Batak menjadi salah satu suku yang cukup familiar pada masyarakat Indonesia. Batak menjadi salah satu suku
terbesar di Indonesia yang sebagian bermigrasi ke Suku Jawa dalam rangka
pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun pendidikan.
Karakteristik
orang Batak, cenderung dinilai sebagai pribadi yang kasar dan keras. Hal
tersebut dapat diketahui lebih dalam dari segi kebudayaan yang berkembang pada
masyarakat Batak maupun dari pola asuh yang sejak turun-temurun telah menjadi
warisan luhur. Pola asuh menjadi bagian penting dalam proses perkembangan
manusia, sebab dari pola asuh tersebut seseorang dapat mengetahui karakter dari
masing-masing manusia.
Pola
asuh yang diberikan oleh keluarga, erat kaitannya dengan sikap dan tingkah laku
yang dilakukan oleh seseorang. Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai adat
dan kebiasaan yang berbeda, sehingga memunculkan beragam tata asuh yang
berbeda. Pola asuh yang berbeda tersebut, membuat Indonesia menjadi negara yang
kaya akan keberagaman tanpa ada deskriminasi terhadap slaah satu suku maupun
budaya tertentu, justru hal tersebut menjadikan Indonesia negara yang beragam
dan berwarna.
Salah
satu suku yang ada di Indonesia adalah Suku Batak. Pola pengasuhan yang ada di
Batak akan berbeda dengan pola asuh yang ada pada Suku Jawa, Suku Madura, Suku
Toraja, Suku Sunda maupun suku-suku yang lainnya. Oleh sebab itu, penulis
membahas mengenai “Pola Pengasuhan dan Perawatan dalam Suku Batak” sehingga
pembaca memiliki gambaran mengenai masyarakat Batak dan sistem tata asuh di
suku tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana
sejarah Suku Batak di Indonesia?
2. Bagaimana
sistem pola asuh dan perawatan yang ada di Suku Batak?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan
mengenai sejarah Suku Batak di Indonesia.
2. Memaparkan
sistem pola asuh dan perawatan yang ada di Suku Batak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Suku Batak di Indonesia
Suku
Batak menjadi salah satu suku yang tak terpisahan dengan Bangsa Indonesia.
Sejarah tidak mencatat kapan pertama kali orang Batak bermukim di Tapanuli dan
Sumatera Timur. Bahasa dan bukti arkeologi menunjukkan pada mulanya orang yang
berbahasa Austronesia merupakan orang yang berasal dari Taiwan yang kemudian
berpindah tempat ke Filipina dan Indonesia sekitar 2500 tahun yang lalu pada
zaman Neolitikum. Namun, sampai sekarang belum ditemukan artefak Neolitikum di
wilayah Batak, maka diduga nenek koyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara
pada zaman logam (Wikipedia, 2017). Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku
ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatra Utara, khususnya daerah sekitar
Danau Toba. Tanah Batak merupakan tempat pemukiman orang Batak (halak Batak).
Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami kelompok masyarakat ini
dikenal dalam Bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak”.
Tanah Batak ini adalah tempat bermukimnya orang yang menyebut dirinya Batak,
seperti Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan Batak
Toba sendiri.
Sejarah
Indonesia modern mencatat bahwa identitas Batak mulai populer setelah
didirikannya dan tergabungnya para pemuda Angkola, Mandailing, Karo, Toba,
Simalungun, Pakpak dalam sebuah organisasi yang bernama Jong Batak pada tahun
1926. Pada mulanya, sebelum abad ke 20 di Sumatra Utara tidka terdapat kelompok
etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Interaksi yang terjadi hanya sebatas
hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan atau antar kampung.
Beberapa pendapat menyebutkan Batak baru muncul pada zaman kolonial Belanda.
Terbentuknya masyarakat Batak terdiri atas berbagai macam marga, akibat dari
adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Persebaran masyarakat
dengan Suku Batak terbanyak adalah di Sumatra Utara dengan jumlah populasi
5.785.716 jiwa, setelah itu di Riau dengan 691.399 jiwa, Jawa Barat dengan
467.438 jiwa, Jakarta dengan 326.645 jiwa, Sumatra Barat dengan 222.549 jiwa,
Kepulauan Riau dengan 208.678 jiwa, Aceh dengan 147.259 jiwa, Banten dengan
139.259 jiwa, dan Jambi dengan 106.249 jiwa (Wikipedia).
Suku
Batak terbagi menjadi beberapa puak. Setiap puak memiliki salam khasnya maisng-masing.
Masyarakat Indonesia tentu mengenal Suku Batak dengan salam “Horas”, namun
terdapat dua salam lagi namun kurang populer pada masyarakat Indonesia, yakni
“Mejuah juah” dan “Njuah juah”. Salam Horas yang menjadi identik dari Suku
Batak sendiri memiliki penyebutan masing-masing berdasarkan puak yang
menggunaknnya. Antara lain,
Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”, Karo “Mejuah-juah Kita
Krina!”, Toba “Horas Jala Gabe
Di Hita Saluhutna!”, Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam
habonaran Do Bona!” serta Mandiailing dan
Angkola “Horas Tondi Mandingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Sistem kekerabatan dalam Suku Batak
terbagi menjadi dua bentuk kekerabatan, yakni berdasarkan garis keturunan
(generologi) dan berdasarkan sosiologis. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis
keturunan terlihat dari silsilah marga mulai dari Raja Batak, dimana semua suku
bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis
terjadi melalui perjanjian maupun karena perkawinan.
Terdapat falsafah dalam perumpaan dalam Bahasa Batak Toba yang berbunyi “Jonok dongan partubu jonokan do dongan
parhundul” yang merupakan suatu filosofi agar selalu menjaga hubungan abik
dengan tetangga, sebab tetangga merupakan orang terdekat. Namun dalam praktek
pelaksanaan adatnya, yang pertama kali dicari adalah yang memiliki marga sama
walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan.
B.
Sistem
Pola Asuh dan Perawatan pada Suku Batak
Keanekaragaman
budaya selalu membawa nilai-nilai bersama yang menjadi titik temu dalam
membangun relasi sosial (Hendar dkk, 2009:35). Perkembangan zaman dan kemajuan
teknologi, membawa manusia ke abad dimana kehidupan masyarakat berubah menjadi
semakin kompleks dan semakin maju. Namun, arah budaya yang sudah berkembang
pada suku-suku tertentu akan terus dilestarikan dan diwariskan kepada anak-anak
secara turun-temurun. Hal tersebut sama halnya dengan sistem pola asuh yang
sudah berkembang dan mendarah daging pada Suku Batak. Tinambunan, 2010
menyebutkan terdapat 7 falsafah hidup orang Batak, yaitu:
1. Mardebata,
yakni mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan.
2. Marpinompar,
yakni mempunyai keturunan. Setiap marga Batak menghendaki adanya keturunan
sebagai generasi penerus, khususnya anak laki-laki.
3. Martutur,
yakni mempunyai kekerabatan hierarki dalam keluarga, yang dikuatkan dengan
Dalihan Natolu yaitu hubungan semarga.
4. Maradat,
yakni mempunyai adat-istiadat dengan pelaksanaan dalihan natolu (tiga tungku)
yang implementasinya somba (hormat) kepada keluarga pihak istri, manat
(hati-hati) kepada dongan tubu (semarga), dan elek atau mengasihi boru (anak
perempuan kita beserta keluarganya).
5. Marpangkirimon,
mempunyai pengharapan atau cita-cita.
6. Marpatik,
mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat smeua masyarakat Batak
untuk tidak berbuat anarkis.
7. Maruhum,
yakni mempunyai hukum undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja kampung
berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh semua pihak.
Dalam
praktek budaya Suku Batak sehari-hari, terdapat beberapa hal yang menjadi ciri
khas dalam sistem pola asuh yang terdapat pada Suku Batak. Diantaranya adalah:
1.
Authoritarian
(Tinambunan, 2010)
Menurut Altemeyer (1996), kepribadian Authoritarian
didefinisikan sebagai kepribadian yang bukan hanya ditunjukkan dengan wujud
perilaku kaku, keras atau kasar, namun juga berupa suatu bentuk perilaku yang
rigid akan kepatuhan terhadap: (a) aturan, (b) figur, (c) agresi. Perilaku
kepatuhan yang kaku dan rigid ini memungkinkan pribadi authoritarian
untuk merasa tidak nyaman dan memiliki dorongan yang kuat untuk memunculkan dan
menampakkan rasa ketidaknyamanan tersebut bila ada orang lain atau
lingkungannya yang bersikap, berbuat, atau tampil tidak seperti apa yang
menurut pribadi authoritarian adalah yang terbenar.
Menurut Yusuf (2004), adapun ciri-ciri atau karakteristik
pendidik dengan gaya authoritarian adalah sebagai berikut: (a) sikap
penerimaan rendah, namun kontrolnya tinggi, (b) suka menghukum secara fisik,
(c) bersikap mengomando/mengharuskan dan memerintah anak didik untuk melakukan
sesuatu tanpa kompromi, (d) bersikap kaku/keras, dan (e) cenderung emosional
dan bersikap menolak.
Baumrind (dalam Lerner & Hellsch, 2005) mencoba untuk
melengkapi pendapat Yusuf diatas dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan
operasionalisasi dari pola didik authoritarian (dalam hal ini adalah
pola didik yang dilakukan orangtua terhadap anaknya). Orangtua yang menerapkan
pola didik authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan
menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama
sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku.
Orangtua seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan
atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang
kehendak diri anak bila berperilaku dan berkeyakinan yang bertentangan dengan
apa yang dipandang benar menurut keyakinan diri orangtua tersebut.
2.
Perbedaan Anak laki-laki dan Anak
Perempuan
Suku Batak memiliki
sistem kekerabatan Patrilineal, yakni prinsip keturunan yang menghitung
hubungan kekerabatan berdasarkan garis ayah atau laki-laki, jadi jika keluarga
Batak tidak memiliki anak laki-laki, maka marganya akan punah. Oleh sebab itu,
anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak,
sedangkan posisi anak perempuan Batak adalah sebagai pencipta hubungan besan
karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang
lain (Vergouwen, 2004).
Kedudukan anak laki-laki
yang dianggap lebih tinggi ini menyebabkan anak laki-laki seringkali
diperlakukan berbeda dengan saudara perempuannya. Perbedaan perlakuan yang
diberikan pada anak dianggap sebagai hal yang memang harus dilakukan dengan
alasan adat dan kebiasaan. Perbedaan perlakuan ini dapat berupa perbedaan
pemberian tanggung jawab, perbedaan perhatian hingga perbedaan rasa sayang yang
secara ekstrim dapat juga ditemukan dalam keluarga yang hanya memiliki satu
anak laki-laki. Perlakuan yang dianggap istimewa itu seringkali diberikan pada
anak laki-laki karena orangtua ingin anak laki-lakinya dihargai oleh saudara
perempuannya maupun orang lain.
3.
Nilai Anak (Hagabeon) dalam Suku Batak
Di antara beberapa nilai
yang dipercaya suku Batak, Hagapeon merupakan yang paling utama. Pola asuh yang
sering digunakan adalah pola asuh authoritative.
Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian
pendidikan anak di bidang pendidikan atau akademik berupa dukungan, kontrol,
dan kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada
pencapaian prestasi tertentu.
Pengasuhan anak menjadi
faktor penting dalam keluarga, orangtua Batak harus mampu mengasuh anak-anaknya
dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka akan mampu membawa nama baik
keluarga Batak. Penekanan prestasi anak menjadi hal yang sangat penting dalam
pengasuhan.
4.
Posisi Ibu dan Perempuan dalam Suku Batak
Ibu dalam keyakinan suku
Batak wanita sangat dijunjung tinggi kehormatannya, ibu merupakan tonggak
penting dalam sebuah keluarga, di mana ibu adalah kekuatan dalam keluarga.
Tidak jarang dijumpai dalam keluarga Batak, ibu yang bekerja keras demi
keluarganya. Di satu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah dan di
sisi lain juga mengatur segala keperluan
di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya (Tinambunan, 2010).
Tugas wanita Batak dalam
keluarga sudah diasosiasikan semenjak masih anak-anak, terlebih lagi dalam
masyarakat Batak yang mengagungkan anak laki-laki, ibu dituntut oleh keluarga
harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan
keluarga.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan keanekaragaman suku bangsa serta
berbagai budaya yang senantiasa menghiasi wajah Indonesia. Suku-suku yang ada
di Indonesia sangat banyak, terdiri dari suku besar, suku kecil ataupun suku
pedalaman. Suku Batak menjadi salah satu suku besar yang terdapat di wilayah
Indonesia tepatnya daerah Sumatra Utara. Suku Batak pada mulanya merupakan gabungan
para pemuda Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun, Pakpak dalam sebuah organisasi
yang bernama Jong Batak pada ahun 1926. Persebaran masyarakat Batak terbanyak
berada di wilayah Sumatra Utara. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan
sistem kekerabatannya. Dalam silsilah Batak sistem kekerabatn terbagi menjadi
2, yakni berdasarkan garis keturunan dan berdasarkan sosiologis.
Praktek
kebudayaan selama ini selalu membawa perkembangan suku-suku bangsa di Indonesia
pada keanekaragaman budaya yang beragam. Suku Batak memiliki falsafah hidup
yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Falsafah tersebut
antara lain, mardebata, marpinompar, mertutur, maradat, marpangkirimon,
marpatik, dan maruhum. Ketujuh falsafah tersebut menjadi pedoman dalam
kehidupan sehari-hari pada Suku Batak. Ciri khas dalam Suku Batak dalam sistem
pola asuhnya adalah dalam Suku Batak menganut sistem authoritarian yakni
berusaha mengontrol dan meniali tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan yang
ditentukan dengan standart absolut yang mengenai perilaku. Dalam suku Batak
juga terdapat perbedaan dalam pengasuhan anak laki-laki dan perempuan.
Kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan. Selain itu, orang
Batak menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting.
Posisi ibu dalam keyakinan suku Batak sangat dijunjung tinggi.
B.
Saran
Pola pengasuhan dan
perawatan dalam suku tertentu akan berbeda dengan suku yang lain. Hal ini
menyebabkan setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Pola
asuh yang ada di Batak cenderung dinilai kasar dan keras, namun hal tersebut
menjadikan Batak memiliki kekhasan tersendiri. Oleh sebab itu, peranan masyarakat
Batak sebaiknya senantiasa melestarikan budaya yang berkembang di daerahnya.
Bagi pemerintah, mengeksplor budaya Batak agar dapat mendunia baik dari sistem
pola asuh maupun budaya yang ada di daerah tersebut.
DAFTAR
RUJUKAN
Hendar,
dkk. 2009. Multikulturalisme Belajar
Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks.
Tinambunan,
D. 2010. Orang Batak Kasar?. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Vergouwen,
J. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKiS.
Wikipedia.
Suku Batak, (Online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak) diakses 9 Februari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar