Senin, 06 Maret 2017

POLA PENGASUHAN PADA SUKU BATAK

BAB I
PENDAHULUAN


A.                Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang banyak. Berbagai potensi dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ideologi pancasila menggambarkan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang tidak terpisahkan dari Sabang sampai Merauke. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mendeskripsikan bahwa Indonesia merupakan negara kaya dengan beragam suku bangsa, bahasa dan kebudayaan. Setiap wilayah di Indonesia tentu memiliki keragaman dan ciri khas masing-masing.
Latar belakang budaya yang berbeda, tentu akan memberikan pola pengasuhan yang berbeda pula. Sama halnya dengan salah satu suku yang ada di Indonesia, yakni Suku Batak menjadi salah satu suku yang cukup familiar pada masyarakat Indonesia. Batak menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia yang sebagian bermigrasi ke Suku Jawa dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun pendidikan.
Karakteristik orang Batak, cenderung dinilai sebagai pribadi yang kasar dan keras. Hal tersebut dapat diketahui lebih dalam dari segi kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Batak maupun dari pola asuh yang sejak turun-temurun telah menjadi warisan luhur. Pola asuh menjadi bagian penting dalam proses perkembangan manusia, sebab dari pola asuh tersebut seseorang dapat mengetahui karakter dari masing-masing manusia.
Pola asuh yang diberikan oleh keluarga, erat kaitannya dengan sikap dan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang. Setiap suku yang ada di Indonesia mempunyai adat dan kebiasaan yang berbeda, sehingga memunculkan beragam tata asuh yang berbeda. Pola asuh yang berbeda tersebut, membuat Indonesia menjadi negara yang kaya akan keberagaman tanpa ada deskriminasi terhadap slaah satu suku maupun budaya tertentu, justru hal tersebut menjadikan Indonesia negara yang beragam dan berwarna.
Salah satu suku yang ada di Indonesia adalah Suku Batak. Pola pengasuhan yang ada di Batak akan berbeda dengan pola asuh yang ada pada Suku Jawa, Suku Madura, Suku Toraja, Suku Sunda maupun suku-suku yang lainnya. Oleh sebab itu, penulis membahas mengenai “Pola Pengasuhan dan Perawatan dalam Suku Batak” sehingga pembaca memiliki gambaran mengenai masyarakat Batak dan sistem tata asuh di suku tersebut.

B.                 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana sejarah Suku Batak di Indonesia?
2.      Bagaimana sistem pola asuh dan perawatan yang ada di Suku Batak?

C.                Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan mengenai sejarah Suku Batak di Indonesia.

2.      Memaparkan sistem pola asuh dan perawatan yang ada di Suku Batak.


BAB II
PEMBAHASAN


A.                Sejarah Suku Batak di Indonesia
Suku Batak menjadi salah satu suku yang tak terpisahan dengan Bangsa Indonesia. Sejarah tidak mencatat kapan pertama kali orang Batak bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti arkeologi menunjukkan pada mulanya orang yang berbahasa Austronesia merupakan orang yang berasal dari Taiwan yang kemudian berpindah tempat ke Filipina dan Indonesia sekitar 2500 tahun yang lalu pada zaman Neolitikum. Namun, sampai sekarang belum ditemukan artefak Neolitikum di wilayah Batak, maka diduga nenek koyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam (Wikipedia, 2017). Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku ini banyak mendiami wilayah Provinsi Sumatra Utara, khususnya daerah sekitar Danau Toba. Tanah Batak merupakan tempat pemukiman orang Batak (halak Batak). Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami kelompok masyarakat ini dikenal dalam Bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak”. Tanah Batak ini adalah tempat bermukimnya orang yang menyebut dirinya Batak, seperti Batak Angkola, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan Batak Toba sendiri.
Sejarah Indonesia modern mencatat bahwa identitas Batak mulai populer setelah didirikannya dan tergabungnya para pemuda Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun, Pakpak dalam sebuah organisasi yang bernama Jong Batak pada tahun 1926. Pada mulanya, sebelum abad ke 20 di Sumatra Utara tidka terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Interaksi yang terjadi hanya sebatas hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan atau antar kampung. Beberapa pendapat menyebutkan Batak baru muncul pada zaman kolonial Belanda. Terbentuknya masyarakat Batak terdiri atas berbagai macam marga, akibat dari adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Persebaran masyarakat dengan Suku Batak terbanyak adalah di Sumatra Utara dengan jumlah populasi 5.785.716 jiwa, setelah itu di Riau dengan 691.399 jiwa, Jawa Barat dengan 467.438 jiwa, Jakarta dengan 326.645 jiwa, Sumatra Barat dengan 222.549 jiwa, Kepulauan Riau dengan 208.678 jiwa, Aceh dengan 147.259 jiwa, Banten dengan 139.259 jiwa, dan Jambi dengan 106.249 jiwa (Wikipedia).
Suku Batak terbagi menjadi beberapa puak. Setiap puak memiliki salam khasnya maisng-masing. Masyarakat Indonesia tentu mengenal Suku Batak dengan salam “Horas”, namun terdapat dua salam lagi namun kurang populer pada masyarakat Indonesia, yakni “Mejuah juah” dan “Njuah juah”. Salam Horas yang menjadi identik dari Suku Batak sendiri memiliki penyebutan masing-masing berdasarkan puak yang menggunaknnya. Antara lain, Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”, Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”, Toba “Horas Jala Gabe Di Hita Saluhutna!”, Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam habonaran Do Bona!” serta Mandiailing dan Angkola “Horas Tondi Mandingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Sistem kekerabatan dalam Suku Batak terbagi menjadi dua bentuk kekerabatan, yakni berdasarkan garis keturunan (generologi) dan berdasarkan sosiologis. Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan terlihat dari silsilah marga mulai dari Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian maupun karena perkawinan. Terdapat falsafah dalam perumpaan dalam Bahasa Batak Toba yang berbunyi “Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul” yang merupakan suatu filosofi agar selalu menjaga hubungan abik dengan tetangga, sebab tetangga merupakan orang terdekat. Namun dalam praktek pelaksanaan adatnya, yang pertama kali dicari adalah yang memiliki marga sama walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan.


B.                 Sistem Pola Asuh dan Perawatan pada Suku Batak
Keanekaragaman budaya selalu membawa nilai-nilai bersama yang menjadi titik temu dalam membangun relasi sosial (Hendar dkk, 2009:35). Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, membawa manusia ke abad dimana kehidupan masyarakat berubah menjadi semakin kompleks dan semakin maju. Namun, arah budaya yang sudah berkembang pada suku-suku tertentu akan terus dilestarikan dan diwariskan kepada anak-anak secara turun-temurun. Hal tersebut sama halnya dengan sistem pola asuh yang sudah berkembang dan mendarah daging pada Suku Batak. Tinambunan, 2010 menyebutkan terdapat 7 falsafah hidup orang Batak, yaitu:
1.      Mardebata, yakni mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan.
2.      Marpinompar, yakni mempunyai keturunan. Setiap marga Batak menghendaki adanya keturunan sebagai generasi penerus, khususnya anak laki-laki.
3.      Martutur, yakni mempunyai kekerabatan hierarki dalam keluarga, yang dikuatkan dengan Dalihan Natolu yaitu hubungan semarga.
4.      Maradat, yakni mempunyai adat-istiadat dengan pelaksanaan dalihan natolu (tiga tungku) yang implementasinya somba (hormat) kepada keluarga pihak istri, manat (hati-hati) kepada dongan tubu (semarga), dan elek atau mengasihi boru (anak perempuan kita beserta keluarganya).
5.      Marpangkirimon, mempunyai pengharapan atau cita-cita.
6.      Marpatik, mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat smeua masyarakat Batak untuk tidak berbuat anarkis.
7.      Maruhum, yakni mempunyai hukum undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja kampung berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh semua pihak.
Dalam praktek budaya Suku Batak sehari-hari, terdapat beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam sistem pola asuh yang terdapat pada Suku Batak. Diantaranya adalah:
1.                  Authoritarian (Tinambunan, 2010)
Menurut Altemeyer (1996), kepribadian Authoritarian didefinisikan sebagai kepribadian yang bukan hanya ditunjukkan dengan wujud perilaku kaku, keras atau kasar, namun juga berupa suatu bentuk perilaku yang rigid akan kepatuhan terhadap: (a) aturan, (b) figur, (c) agresi. Perilaku kepatuhan yang kaku dan rigid ini memungkinkan pribadi authoritarian untuk merasa tidak nyaman dan memiliki dorongan yang kuat untuk memunculkan dan menampakkan rasa ketidaknyamanan tersebut bila ada orang lain atau lingkungannya yang bersikap, berbuat, atau tampil tidak seperti apa yang menurut pribadi authoritarian adalah yang terbenar.
Menurut Yusuf (2004), adapun ciri-ciri atau karakteristik pendidik dengan gaya authoritarian adalah sebagai berikut: (a) sikap penerimaan rendah, namun kontrolnya tinggi, (b) suka menghukum secara fisik, (c) bersikap mengomando/mengharuskan dan memerintah anak didik untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi, (d) bersikap kaku/keras, dan (e) cenderung emosional dan bersikap menolak.
Baumrind (dalam Lerner & Hellsch, 2005) mencoba untuk melengkapi pendapat Yusuf diatas dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan operasionalisasi dari pola didik authoritarian (dalam hal ini adalah pola didik yang dilakukan orangtua terhadap anaknya). Orangtua yang menerapkan pola didik authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut  mengenai perilaku. Orangtua seperti ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang kehendak diri anak bila berperilaku dan berkeyakinan yang bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut keyakinan diri orangtua tersebut.
2.                  Perbedaan Anak laki-laki dan Anak Perempuan
Suku Batak memiliki sistem kekerabatan Patrilineal, yakni prinsip keturunan yang menghitung hubungan kekerabatan berdasarkan garis ayah atau laki-laki, jadi jika keluarga Batak tidak memiliki anak laki-laki, maka marganya akan punah. Oleh sebab itu, anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga Batak, sedangkan posisi anak perempuan Batak adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain (Vergouwen, 2004).
Kedudukan anak laki-laki yang dianggap lebih tinggi ini menyebabkan anak laki-laki seringkali diperlakukan berbeda dengan saudara perempuannya. Perbedaan perlakuan yang diberikan pada anak dianggap sebagai hal yang memang harus dilakukan dengan alasan adat dan kebiasaan. Perbedaan perlakuan ini dapat berupa perbedaan pemberian tanggung jawab, perbedaan perhatian hingga perbedaan rasa sayang yang secara ekstrim dapat juga ditemukan dalam keluarga yang hanya memiliki satu anak laki-laki. Perlakuan yang dianggap istimewa itu seringkali diberikan pada anak laki-laki karena orangtua ingin anak laki-lakinya dihargai oleh saudara perempuannya maupun orang lain.
3.                  Nilai Anak (Hagabeon) dalam Suku Batak
Di antara beberapa nilai yang dipercaya suku Batak, Hagapeon merupakan yang paling utama. Pola asuh yang sering digunakan adalah pola asuh authoritative. Pola pengasuhan ini diikuti juga oleh sikap orangtua yang mendorong pencapaian pendidikan anak di bidang pendidikan atau akademik berupa dukungan, kontrol, dan kekuasaan, yang mereka perlihatkan dalam mengarahkan kegiatan anak pada pencapaian prestasi tertentu.
Pengasuhan anak menjadi faktor penting dalam keluarga, orangtua Batak harus mampu mengasuh anak-anaknya dengan sebaik mungkin sehingga anak-anak mereka akan mampu membawa nama baik keluarga Batak. Penekanan prestasi anak menjadi hal yang sangat penting dalam pengasuhan.
4.                  Posisi Ibu dan Perempuan dalam Suku Batak
Ibu dalam keyakinan suku Batak wanita sangat dijunjung tinggi kehormatannya, ibu merupakan tonggak penting dalam sebuah keluarga, di mana ibu adalah kekuatan dalam keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam keluarga Batak, ibu yang bekerja keras demi keluarganya. Di satu sisi ibu melaksanakan tugas-tugasnya di luar rumah dan di sisi lain juga mengatur  segala keperluan di dalam rumah termasuk pengasuhan anak-anaknya (Tinambunan, 2010).
Tugas wanita Batak dalam keluarga sudah diasosiasikan semenjak masih anak-anak, terlebih lagi dalam masyarakat Batak yang mengagungkan anak laki-laki, ibu dituntut oleh keluarga harus mampu mendidik dan membesarkan anak agar berhasil sesuai dengan tuntutan keluarga.

 BAB III
PENUTUP


A.                Kesimpulan
            Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan keanekaragaman suku bangsa serta berbagai budaya yang senantiasa menghiasi wajah Indonesia. Suku-suku yang ada di Indonesia sangat banyak, terdiri dari suku besar, suku kecil ataupun suku pedalaman. Suku Batak menjadi salah satu suku besar yang terdapat di wilayah Indonesia tepatnya daerah Sumatra Utara. Suku Batak pada mulanya merupakan gabungan para pemuda Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun, Pakpak dalam sebuah organisasi yang bernama Jong Batak pada ahun 1926. Persebaran masyarakat Batak terbanyak berada di wilayah Sumatra Utara. Suku Batak merupakan suku yang terkenal dengan sistem kekerabatannya. Dalam silsilah Batak sistem kekerabatn terbagi menjadi 2, yakni berdasarkan garis keturunan dan berdasarkan sosiologis.
            Praktek kebudayaan selama ini selalu membawa perkembangan suku-suku bangsa di Indonesia pada keanekaragaman budaya yang beragam. Suku Batak memiliki falsafah hidup yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Falsafah tersebut antara lain, mardebata, marpinompar, mertutur, maradat, marpangkirimon, marpatik, dan maruhum. Ketujuh falsafah tersebut menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari pada Suku Batak. Ciri khas dalam Suku Batak dalam sistem pola asuhnya adalah dalam Suku Batak menganut sistem authoritarian yakni berusaha mengontrol dan meniali tingkah laku dan sikap anak sesuai dengan yang ditentukan dengan standart absolut yang mengenai perilaku. Dalam suku Batak juga terdapat perbedaan dalam pengasuhan anak laki-laki dan perempuan. Kedudukan laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan. Selain itu, orang Batak menganggap bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting. Posisi ibu dalam keyakinan suku Batak sangat dijunjung tinggi.



B.                 Saran
Pola pengasuhan dan perawatan dalam suku tertentu akan berbeda dengan suku yang lain. Hal ini menyebabkan setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Pola asuh yang ada di Batak cenderung dinilai kasar dan keras, namun hal tersebut menjadikan Batak memiliki kekhasan tersendiri. Oleh sebab itu, peranan masyarakat Batak sebaiknya senantiasa melestarikan budaya yang berkembang di daerahnya. Bagi pemerintah, mengeksplor budaya Batak agar dapat mendunia baik dari sistem pola asuh maupun budaya yang ada di daerah tersebut.


DAFTAR RUJUKAN


Hendar, dkk. 2009. Multikulturalisme Belajar Hidup Bersama dalam Perbedaan. Jakarta: PT Indeks.
Tinambunan, D. 2010. Orang Batak Kasar?. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Vergouwen, J. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKiS.
Wikipedia. Suku Batak, (Online), (https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak)  diakses 9 Februari 2017.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar