Rabu, 09 April 2014

Apa Kabar Sayang ?

Apa kabar sayang? Beberapa hari ini kamu tak lagi mengisi hari-hari ini. Beberapa hari ini inbox ku tak penuh dengan pesan-pesanmu. Beberapa hari ini rasanya sepi. Kamu sudang apa kali ini? Mentari enggan rasanya hendak terbit, rasanya ada kegetiran yang masih terasa di sana. ya, di sana, dijauh relung hati ini. Mungkin benar, jingga tak selalu bersama senja. mengkin benar, laut akan semakin menjauhi pantai, dan mungkin benar juga kalau kamu akan semakin jauh dari aku. Senja itu, masih ku ingat betul ketuika engkau datang bersama tawamu di anatara hiruk pikuknya dunia. bersama cintamu engkaua nyatakan sesuatu itu. iya, sesuatu yang membuat hati ini serasa melambung. Kamu begitu apa adanya, seperti mereka. mereka tak pernah punya beban ketika memiliki masalah, bahkan kettika mereka kehilangan. tapi dirimu jauh lebih tegar. aku berhutang atas kebaikanmu selama ini. Aku berusaha memberikan yang kumiliki untuk kebaikan dan kebahagianmu. nyatanya, semua nampak salah dimatamu, bahkan selalu kamu anggap buruk. aku rasa ini bukan kebetulan ketika kamu memutuskan pergi dan memilih cinta yang lain. Indra memang demikian. Selalu mengalihkan setiap pembicaraan saat kita berdua. Ada lagu rindu yang tak ingin kudengar. disitu mengisahkan tentang aku dan kamu. namun, semua masih terasa kelabu ketika kamu perlahan menghindar. ya, kamu menjauh dan semakin jauh. tak lagi sama. mungkin ada benarnya kata Raditya Dika bahwa cinta bisa saja kadaluarsa. seperti cintamu yang kadaluarsa. aku masih tak mengerti. bahkan dengan rasa yang perlahan pudar ini. Selamat Tinggal.

-END-

Selasa, 01 April 2014

Gelora Hari Baru Untuk Tina


  Ainada El Q’ 
Saat matahari mulai tergelincir dari peraduaannya, sejuta asa bergulir melebur menjadi satu. Ketika keraguan mencoba menggoyahkan hati yang sejujurnya tak sanggup lagi untuk menahan setiap cibiran yang datang menghadang. Mencoba dan tetap mencoba menepis sebuah kenyataan yang nyatanya sulit terelakkan oleh napas jaman yang semakin menyempitkan hidupnya. Dia tetap berjalan, menapakki setiap jalanan terjal dihadapannya. Dia begitu tenang meski sebenarnya jiwanya begitu kalut oleh derita yang dibawanya. Baginya bahunya terlalu kokoh untuk sekedar meruntuhkan semangat juangnya. Dia tak peduli dengan pandangan disekelilingnya yang hanya memandangnya dengan sebelah mata. Dia berjalan dan terus berjalan tanpa henti melewati batas hari yang semakin tergerus oleh waktu.
            Namanya Iftina Rafifa. Dia gadis berusia 9 tahun. Arti namanya gadis kecil yang berakhlak mulia dan mengagumkan. Memang pantas sebuah nama indah untuknya. Dia gadis manis yang mengagumkan dan menyenangkan. Simpul senyumnya tak pernah habis menghiasi wajahnya. Lesung di kedua pipinya menandakan dia begitu manis dan apa adanya.
            20 Maret 2014, ketika kekuatan hati mulai dipertanyakan.
            Hari itu seperti biasa dia menghabiskan sepanjang harinya di jalanan bersama teman-temannya bergumul dengan anak-anak jalanan yang bagi mereka itulah hidupnya, dari sanalah mereka bisa makan, melanjutkan hidup yang sebenarnya buat mereka tak penting. Ya, bisa dikatakan Tina, panggilan akrabnya adalah sebagian dari anak jalanan itu. Sejak kecil hidupnya bergantung dari tangan-tangan yang menengadah dengan lantunan syair merdu yang keluar dari mulutnya di setiap lampu merah. Untuk menahan malupun dia sudah tak sanggup lagi, yang paling terpenting baginya bisa melanjutkan mimpinya dan sampai di rumah ada beberapa suap nasi untuk ayah dan kakak lelakinya. Ibunya sudah lama meninggal setelah penyakit biadab yang menggerogoti hati dan paru-parunya. Ayah dan kakak lelakinya tak lain adalah orang terjahat dan terkejam bagi orang lain yang harus memaksa Tina menggeluti pekerjaan yang seharusnya itu bukan yang terbaik untuknya. Sama sekali itu bukan sosok kakak dan seorang ayah yang baik yang selama ini selalu menjadi gambaran di televisi atau cerita-cerita dongeng.
            Ingin rasanya dia menangis disaat hari itu. Hampir maghrib tiba hanya uang Rp 8300,- yang bisa dia bawa pulang. Gambaran dalam matanya hanya ada ayah dan kakak lelakinya yang akan semakin menyiksa dan memarahinya.
“Kamu tak ingin pulang, Tin?” tanya Aisha yang saat itu menemaninya mengais koin-koin di lampu merah.
“Tidak, aku belum berani pulang. Kalau kamu mau pulang, pulang saja duluan. Aku akan mencari uang lebih buat kak Doni dan ayah.” Jawab Tina.
“Ya sudah, aku pulang dulu. Mungkin sebentar lagi akan hujan. Kamu cepat-cepat pulang ya.”
“Baiklah.”
***
            23 Maret 2014, dapatkah mereka memahami kesedihannya seutuhnya? Menjadikannya keluarga karena cinta bukan karena uang yang selama ini dia bawa?
            Masih dia ingat betul ketika dua hari yang lalu Tina pulang ke rumah dengan hanya membawa uang yang tak lebih dari sepuluh ribu. Ketika ayahnya dengan gampang melempar kantong plastik yang selama ini ia gunakan untuk mengais koin dari satu orang ke orang yang lain. Sehari penuh ia memeras peluh memanggul beban yang dirasa sakit untuk terus dijalaninya. Dan lagi-lagi dengan gampang sang ayah menyuruhnya tidur di luar. Mungkin andaikata masih ada sang ibu, penderitaanya tak akan seberat dan sesakit ini. Namun Tina terlalu kuat untuk sekedar menangis. Buatnya menangis hanya untuk orang-orang manja yang belum merasakan pahitnya kehidupan. Dia tak menyalahkan jika pada akhirnya nanti tetap Tina lah yang akan mengalah dari kakaknya. Sang kakak yang usianya terpaut 8 tahun darinya memang lebih beruntung, karena dia sempat merasakan bangku sekolah meski hanya sampai SMP. Ingin sekali rasanya Tina bisa merasakan pendidikan yang seyogyanya memang harus untuk anak seusianya. Minimal 9 tahunlah, seperti apa yang digembor-gemborkan oleh pemerintah bahwa pendidikan gratis selama 9 tahun. Nyatanya, selain  dari beban biaya kekangan orang tuanya lah yang memaksa dia harus mengubur mimpinya hidup-hidup.
            25 Maret 2014, sakit rasanya terjerat diantara sebuah lembah kegelapan tanpa sebuah alasan.
            Pagi itu mendung sedikit menyelimuti, hawa dingin menembus ke bilah-bilah dinding bambu rumah Tina. Dia ingat betul hari ini tanggal 25 Maret 2014, sedangkan kakaknya lahir tanggal 27 Maret. Berarti tinggal 2 hari lagi sang kakak akan merayakan hari lahirnya yang ke 17. Tina tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ingin sang kakak menjadi raja sehari di hari itu. Dia segera bangun dan membereskan tempat tidurnya, setelah mencuci muka. Dia kembali bergumul dengan anak-anak sebayanya di lampu merah. Sesekali batinnya terkoyak tatkala melihat anak-anak seusianya mengenakan seragam merah putih, ingin sekali Tina juga mengenakannya. Belajar bersama, meski sebenarnya dia adalah anak yang cerdas, dia bisa menulis itupun yang mengajari almarhumah ibunya dulu. Saat sang ibu sudah tiada, hanya mimpi di siang bolong yang nampak adanya. Seperti biasa dia bersemangat sekali mencari uang hari itu. Ketika hujan mulai mengguyur, dia mulai beralih profesi mengikuti anak-anak yang lain menjadi tukan ojek payung. Biarpun mimpinya kandas, tapi cintanya untuk sangg kakak tak akan pernah  berujung meskipun sekali-kali sang kakak tak pernah menyentuh raganya apalagi menyentuh jiwanya. Sampai larut malam dia tetap bergumul dengan orang-orang yang dia sendiri tak mengenalnya. Sampai di rumah ia sisihkah uang miliknya untuk sang kakak dan ayah. Meski sebenarnya dia juga harus menahan derita dan tangis di setiap malamnya.
            27 Maret 2014, hari terindah yang akan membuat bahagia kakaknya. Cintanya untuk sang kakak akan ia tunjukkan dengan sebuah gitar selama ini kakaknya inginkan. Meski Tina harus menyisihkan lembaran-lembaran uang hasil jerih payahnya untuk membeli gitar buat sang kakak. Dia beranikan membongkar isi tabungannya, dia menghitung uang didalamnya. Tak lebih dari Rp 500.000,-. Hanya Rp 478.800,-. Miris rasanya, bagaiman lagi dia mendapatkan uang untuk membeli gitar yang harganya sekitar Rp 525.000,-. Tak ada waktu lagi untuknya, tak ia pedulikan panas siang hari itu untuk mengamen bersama teman-temannya di lampu merah. Berjubel dengan sampah-sampah yang baunya menyengat. Membantu membawakan belanjaan orang di pasar, hingga hujan yang turun malam hari itu membuat tubuhnya semakin rapuh. Jam sudah menunjukkan pukul 20.45 WIB. Seharian penuh perutnya belum terisi makanan. Tak ia hiraukan, dia langsung menuju sebuah toko alat musik dan membeli sebuah gitar yang diinginkan kakaknya. Dia berlari diantara hujan dengan membawa gitar dan sebuaah tas usang yang selalu dia bawa. Dia berlari sambil berteriak kegirangan, kini mimpinya menjadi nyata. Buat cintanya sang kakak apapun dia lakukan. Namun tanpa ia sadari sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan bruuuuuukkkkk.... sebuah kecelakaan terjadi dan sebuah gitar terbelah menjadi kepengingan-kepingan yang tak berharga. Seorang gadis kecil tergeletak tak berdaya dengan darah yang tetap mengucur dari kepalanya. Dia mencoba bangkit, namun sulit.  Hanya terdengar riuk orang-orang yang kebingungan dan langsung membawanya ke rumah sakit. Di sudut ruangan rumah sakit, seorang gadis yang sudah tak asing lagi bagi kedua orang pria yang kini menatapnya tak berdaya. Dialah Iftina Rafifa, gadis yang selama ini menjadi tulang punggungnya kini hanya bisa terbaring lemah dengan jarum infus yang tetap menancap di tangan kirinya.  Terutama untuk sang kakak, dia begitu menyesali. Terlebih ketika melihat perjuangan adiknya yang rela berkorban membelikan gitar yang diimpikannya. Tiba-tiba seorang perawat datang mengampiri keduanya.
“Maaf Pak mengganggu, saya hanya ingin mengantarkan buku yang tidak sengaja terjatuh saat orang-orang membawa adik ini ke sini. Mungkin ini miliknya.” Kata sang perawat, sang ayahpun membaca buku yang tak lain sebuah buku diary sang anak, meskipun tulisannya sulit dibaca namun Tina menuliskan segala keluh kesahnya di buku itu. Dihalaman pertama dia menulis “Aku tak mengerti ayah, mengapa aku harus terlahir di dunia ini. Kupikir angin akan menghembuskan sakitku yang semakin hari semakin tak terkira ini. Kupikir bintang akan kembali bersinar setelah kepergian ibu. Nyatanya, aku semakin rapuh. Tapi buat ayah, kekuatan cinta ini masih tetap besar. Sama seperti yang dikatakan orang-orang yang setiap hari kutemui diperempatan lampu merah itu.” Tak sengaja airmata sang ayah menetes.. hingga tiba di lembar ke-27 sang kakak membaca yang isinya “Hari ini tepat 17 tahun setelah engkau membuka mata terindahmu. Hari itu aku dan kakak belum saling mengenal. Bersyukurlah Kak, karena kakak lahir terlebih dulu. Kakak bisa merasakan kasih dan cinta ibu selama 14 tahun ini. Dan aku tak mengapa hanya merasakan sedikit. Bersyukurlah karena engkau masih diperkenankan Tuhan merasakan usia di 17 tahun ini. Jangan menangis untukku Kak, nafasku kian tercekat saat ini. Aku menyayangimu, aku juga merasakan kesedihanmu dan kebimbanganmu. Aku mengerti setiap malam kamu dan ayah juga selalu mendoakanku. Terima kasih untuk sebuah cinta yang tak terlihat ini.” Sang kakak menjerit sejadi-jadinya, dia memeluk tubuh mungil Tina. Dia katakan “Maafkan kakak dan ayah, kami menyayangimu. Bangunlah Dik.” Tiba-tiba Tinapun terbangun, senyumnya kini menjadi semakin manis. Hatinya menjadi lega dan bahagia. Inilah rencana Tuhan yang terindah.

****