Apa kabar sayang? Beberapa hari ini kamu tak lagi mengisi hari-hari ini. Beberapa hari ini inbox ku tak penuh dengan pesan-pesanmu. Beberapa hari ini rasanya sepi. Kamu sudang apa kali ini? Mentari enggan rasanya hendak terbit, rasanya ada kegetiran yang masih terasa di sana. ya, di sana, dijauh relung hati ini. Mungkin benar, jingga tak selalu bersama senja. mengkin benar, laut akan semakin menjauhi pantai, dan mungkin benar juga kalau kamu akan semakin jauh dari aku. Senja itu, masih ku ingat betul ketuika engkau datang bersama tawamu di anatara hiruk pikuknya dunia. bersama cintamu engkaua nyatakan sesuatu itu. iya, sesuatu yang membuat hati ini serasa melambung. Kamu begitu apa adanya, seperti mereka. mereka tak pernah punya beban ketika memiliki masalah, bahkan kettika mereka kehilangan. tapi dirimu jauh lebih tegar. aku berhutang atas kebaikanmu selama ini. Aku berusaha memberikan yang kumiliki untuk kebaikan dan kebahagianmu. nyatanya, semua nampak salah dimatamu, bahkan selalu kamu anggap buruk. aku rasa ini bukan kebetulan ketika kamu memutuskan pergi dan memilih cinta yang lain. Indra memang demikian. Selalu mengalihkan setiap pembicaraan saat kita berdua. Ada lagu rindu yang tak ingin kudengar. disitu mengisahkan tentang aku dan kamu. namun, semua masih terasa kelabu ketika kamu perlahan menghindar. ya, kamu menjauh dan semakin jauh. tak lagi sama. mungkin ada benarnya kata Raditya Dika bahwa cinta bisa saja kadaluarsa. seperti cintamu yang kadaluarsa. aku masih tak mengerti. bahkan dengan rasa yang perlahan pudar ini. Selamat Tinggal.
-END-
Rabu, 09 April 2014
Selasa, 01 April 2014
Gelora Hari Baru Untuk Tina
Ainada El Q’
Saat matahari mulai tergelincir dari peraduaannya, sejuta asa
bergulir melebur menjadi satu. Ketika keraguan mencoba menggoyahkan hati yang
sejujurnya tak sanggup lagi untuk menahan setiap cibiran yang datang
menghadang. Mencoba dan tetap mencoba menepis sebuah kenyataan yang nyatanya
sulit terelakkan oleh napas jaman yang semakin menyempitkan hidupnya. Dia tetap
berjalan, menapakki setiap jalanan terjal dihadapannya. Dia begitu tenang meski
sebenarnya jiwanya begitu kalut oleh derita yang dibawanya. Baginya bahunya
terlalu kokoh untuk sekedar meruntuhkan semangat juangnya. Dia tak peduli
dengan pandangan disekelilingnya yang hanya memandangnya dengan sebelah mata. Dia
berjalan dan terus berjalan tanpa henti melewati batas hari yang semakin
tergerus oleh waktu.
Namanya Iftina Rafifa. Dia gadis
berusia 9 tahun. Arti namanya gadis kecil yang berakhlak mulia dan mengagumkan.
Memang pantas sebuah nama indah untuknya. Dia gadis manis yang mengagumkan dan
menyenangkan. Simpul senyumnya tak pernah habis menghiasi wajahnya. Lesung di
kedua pipinya menandakan dia begitu manis dan apa adanya.
20 Maret 2014, ketika kekuatan hati
mulai dipertanyakan.
Hari itu seperti biasa dia
menghabiskan sepanjang harinya di jalanan bersama teman-temannya bergumul
dengan anak-anak jalanan yang bagi mereka itulah hidupnya, dari sanalah mereka
bisa makan, melanjutkan hidup yang sebenarnya buat mereka tak penting. Ya, bisa
dikatakan Tina, panggilan akrabnya adalah sebagian dari anak jalanan itu. Sejak
kecil hidupnya bergantung dari tangan-tangan yang menengadah dengan lantunan
syair merdu yang keluar dari mulutnya di setiap lampu merah. Untuk menahan
malupun dia sudah tak sanggup lagi, yang paling terpenting baginya bisa
melanjutkan mimpinya dan sampai di rumah ada beberapa suap nasi untuk ayah dan
kakak lelakinya. Ibunya sudah lama meninggal setelah penyakit biadab yang
menggerogoti hati dan paru-parunya. Ayah dan kakak lelakinya tak lain adalah
orang terjahat dan terkejam bagi orang lain yang harus memaksa Tina menggeluti
pekerjaan yang seharusnya itu bukan yang terbaik untuknya. Sama sekali itu
bukan sosok kakak dan seorang ayah yang baik yang selama ini selalu menjadi
gambaran di televisi atau cerita-cerita dongeng.
Ingin rasanya dia menangis disaat
hari itu. Hampir maghrib tiba hanya uang Rp 8300,- yang bisa dia bawa pulang.
Gambaran dalam matanya hanya ada ayah dan kakak lelakinya yang akan semakin
menyiksa dan memarahinya.
“Kamu
tak ingin pulang, Tin?” tanya Aisha yang saat itu menemaninya mengais koin-koin
di lampu merah.
“Tidak,
aku belum berani pulang. Kalau kamu mau pulang, pulang saja duluan. Aku akan
mencari uang lebih buat kak Doni dan ayah.” Jawab Tina.
“Ya
sudah, aku pulang dulu. Mungkin sebentar lagi akan hujan. Kamu cepat-cepat
pulang ya.”
“Baiklah.”
***
23 Maret 2014, dapatkah mereka
memahami kesedihannya seutuhnya? Menjadikannya keluarga karena cinta bukan
karena uang yang selama ini dia bawa?
Masih dia ingat betul ketika dua
hari yang lalu Tina pulang ke rumah dengan hanya membawa uang yang tak lebih
dari sepuluh ribu. Ketika ayahnya dengan gampang melempar kantong plastik yang
selama ini ia gunakan untuk mengais koin dari satu orang ke orang yang lain. Sehari
penuh ia memeras peluh memanggul beban yang dirasa sakit untuk terus
dijalaninya. Dan lagi-lagi dengan gampang sang ayah menyuruhnya tidur di luar.
Mungkin andaikata masih ada sang ibu, penderitaanya tak akan seberat dan
sesakit ini. Namun Tina terlalu kuat untuk sekedar menangis. Buatnya menangis
hanya untuk orang-orang manja yang belum merasakan pahitnya kehidupan. Dia tak
menyalahkan jika pada akhirnya nanti tetap Tina lah yang akan mengalah dari
kakaknya. Sang kakak yang usianya terpaut 8 tahun darinya memang lebih
beruntung, karena dia sempat merasakan bangku sekolah meski hanya sampai SMP.
Ingin sekali rasanya Tina bisa merasakan pendidikan yang seyogyanya memang
harus untuk anak seusianya. Minimal 9 tahunlah, seperti apa yang
digembor-gemborkan oleh pemerintah bahwa pendidikan gratis selama 9 tahun.
Nyatanya, selain dari beban biaya
kekangan orang tuanya lah yang memaksa dia harus mengubur mimpinya hidup-hidup.
25 Maret 2014, sakit rasanya
terjerat diantara sebuah lembah kegelapan tanpa sebuah alasan.
Pagi itu mendung sedikit
menyelimuti, hawa dingin menembus ke bilah-bilah dinding bambu rumah Tina. Dia
ingat betul hari ini tanggal 25 Maret 2014, sedangkan kakaknya lahir tanggal 27
Maret. Berarti tinggal 2 hari lagi sang kakak akan merayakan hari lahirnya yang
ke 17. Tina tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia ingin sang kakak
menjadi raja sehari di hari itu. Dia segera bangun dan membereskan tempat
tidurnya, setelah mencuci muka. Dia kembali bergumul dengan anak-anak sebayanya
di lampu merah. Sesekali batinnya terkoyak tatkala melihat anak-anak seusianya
mengenakan seragam merah putih, ingin sekali Tina juga mengenakannya. Belajar
bersama, meski sebenarnya dia adalah anak yang cerdas, dia bisa menulis itupun
yang mengajari almarhumah ibunya dulu. Saat sang ibu sudah tiada, hanya mimpi
di siang bolong yang nampak adanya. Seperti biasa dia bersemangat sekali
mencari uang hari itu. Ketika hujan mulai mengguyur, dia mulai beralih profesi
mengikuti anak-anak yang lain menjadi tukan ojek payung. Biarpun mimpinya
kandas, tapi cintanya untuk sangg kakak tak akan pernah berujung meskipun sekali-kali sang kakak tak
pernah menyentuh raganya apalagi menyentuh jiwanya. Sampai larut malam dia
tetap bergumul dengan orang-orang yang dia sendiri tak mengenalnya. Sampai di rumah
ia sisihkah uang miliknya untuk sang kakak dan ayah. Meski sebenarnya dia juga
harus menahan derita dan tangis di setiap malamnya.
27 Maret 2014, hari terindah yang
akan membuat bahagia kakaknya. Cintanya untuk sang kakak akan ia tunjukkan
dengan sebuah gitar selama ini kakaknya inginkan. Meski Tina harus menyisihkan
lembaran-lembaran uang hasil jerih payahnya untuk membeli gitar buat sang
kakak. Dia beranikan membongkar isi tabungannya, dia menghitung uang
didalamnya. Tak lebih dari Rp 500.000,-. Hanya Rp 478.800,-. Miris rasanya,
bagaiman lagi dia mendapatkan uang untuk membeli gitar yang harganya sekitar Rp
525.000,-. Tak ada waktu lagi untuknya, tak ia pedulikan panas siang hari itu
untuk mengamen bersama teman-temannya di lampu merah. Berjubel dengan
sampah-sampah yang baunya menyengat. Membantu membawakan belanjaan orang di
pasar, hingga hujan yang turun malam hari itu membuat tubuhnya semakin rapuh. Jam
sudah menunjukkan pukul 20.45 WIB. Seharian penuh perutnya belum terisi
makanan. Tak ia hiraukan, dia langsung menuju sebuah toko alat musik dan
membeli sebuah gitar yang diinginkan kakaknya. Dia berlari diantara hujan
dengan membawa gitar dan sebuaah tas usang yang selalu dia bawa. Dia berlari
sambil berteriak kegirangan, kini mimpinya menjadi nyata. Buat cintanya sang
kakak apapun dia lakukan. Namun tanpa ia sadari sebuah mobil melaju dengan
kecepatan tinggi dan bruuuuuukkkkk.... sebuah kecelakaan terjadi dan
sebuah gitar terbelah menjadi kepengingan-kepingan yang tak berharga. Seorang
gadis kecil tergeletak tak berdaya dengan darah yang tetap mengucur dari
kepalanya. Dia mencoba bangkit, namun sulit.
Hanya terdengar riuk orang-orang yang kebingungan dan langsung
membawanya ke rumah sakit. Di sudut ruangan rumah sakit, seorang gadis yang
sudah tak asing lagi bagi kedua orang pria yang kini menatapnya tak berdaya.
Dialah Iftina Rafifa, gadis yang selama ini menjadi tulang punggungnya kini
hanya bisa terbaring lemah dengan jarum infus yang tetap menancap di tangan
kirinya. Terutama untuk sang kakak, dia
begitu menyesali. Terlebih ketika melihat perjuangan adiknya yang rela berkorban
membelikan gitar yang diimpikannya. Tiba-tiba seorang perawat datang mengampiri
keduanya.
“Maaf
Pak mengganggu, saya hanya ingin mengantarkan buku yang tidak sengaja terjatuh
saat orang-orang membawa adik ini ke sini. Mungkin ini miliknya.” Kata sang
perawat, sang ayahpun membaca buku yang tak lain sebuah buku diary sang anak,
meskipun tulisannya sulit dibaca namun Tina menuliskan segala keluh kesahnya di
buku itu. Dihalaman pertama dia menulis “Aku tak mengerti ayah, mengapa aku
harus terlahir di dunia ini. Kupikir angin akan menghembuskan sakitku yang
semakin hari semakin tak terkira ini. Kupikir bintang akan kembali bersinar
setelah kepergian ibu. Nyatanya, aku semakin rapuh. Tapi buat ayah, kekuatan
cinta ini masih tetap besar. Sama seperti yang dikatakan orang-orang yang
setiap hari kutemui diperempatan lampu merah itu.” Tak sengaja airmata sang
ayah menetes.. hingga tiba di lembar ke-27 sang kakak membaca yang isinya “Hari
ini tepat 17 tahun setelah engkau membuka mata terindahmu. Hari itu aku dan
kakak belum saling mengenal. Bersyukurlah Kak, karena kakak lahir terlebih
dulu. Kakak bisa merasakan kasih dan cinta ibu selama 14 tahun ini. Dan aku tak
mengapa hanya merasakan sedikit. Bersyukurlah karena engkau masih diperkenankan
Tuhan merasakan usia di 17 tahun ini. Jangan menangis untukku Kak, nafasku kian
tercekat saat ini. Aku menyayangimu, aku juga merasakan kesedihanmu dan
kebimbanganmu. Aku mengerti setiap malam kamu dan ayah juga selalu mendoakanku.
Terima kasih untuk sebuah cinta yang tak terlihat ini.” Sang kakak menjerit
sejadi-jadinya, dia memeluk tubuh mungil Tina. Dia katakan “Maafkan kakak dan
ayah, kami menyayangimu. Bangunlah Dik.” Tiba-tiba Tinapun terbangun, senyumnya
kini menjadi semakin manis. Hatinya menjadi lega dan bahagia. Inilah rencana
Tuhan yang terindah.
****
Langganan:
Postingan (Atom)